STUDI HADIS DALAM
KAJIAN ISLAMIC STUDIES
ABSTRAK
Hadis adalah sesuatu berkaitan dengan Nabi saw. baik
berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Dahulu Rasulullah saw. melarang
umatnya untuk menuliskan hadis, karena takutnya sebahu hadis bercampur dengan
wahyu yang turun saat itu. Itulah yang menjadikan suatu hadis mempunyai
kedudukan yang berbeda-berbeda, ada yang shahih ada yang dhaif, bahkan palsu.
Pembukuan mengenai hadis baru ada pada masa khalifah `Umar bin `Abd al-Aziz (w.
720 M). Hadis juga mempunyai peranan penting dalam kalangan umat Islam, karena
suatu perkara atau permasalahan yang sekiranya dalam al-Qur’an masih belum bisa
dipahami, dapat dipelajari ulang melalui hadis. Untuk meneliti sebuah hadis
dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan kritik matan maupun
kritik sanad.
Kata Kunci: Hadis, Ulumul Hadis, Syarah, Metode
A. Pendahuluan
Pada semasa
waktu nabi masih hidup, segala bentuk pembukuan, pengumpulan, dan penulisan
hadis sangatlah dilarang, karena: pertama agar perhatian sahabat
terhadap al-Qur‘ān tidak
terbagi, kedua untuk menjaga keotentikan al-Qur‘ān
dan ketiga al-Qur‘ān merupakan
prioritas utama yang disampaikan nabi, sedangkan hadis hanya merupakan “side
effect” dari tugas utama tersebut.
Sebelum
adanya pembukuan hadis, hadis dapat diterima dengan hafalan para sahabat Nabi,
dan para sahabat juga belum berfikir bahwa pada masa itu, Nabi juga masih mudah
untuk dihubungi. Pada masa khulafa al-rasyidin, periwayatan hadis pada masa Abu
Bakr dan Umar bin khattab masih terbatas disampaikan kepada yang memerlukannya
saja, belum bersifat pengajaran resmi. Periwayatan hadis begitu sangat lamban,
hal ini disebabkan kecenderungan mereka untuk membatasi atau menyedikitkan
riwayat karena para sahabat sangat teliti dan hati-hati dalam menerima sebuah
hadis.
Pada masa
tabi`in, barulah peresmian pembukuan hadis oleh `Umar Ibn `Abd al-Aziz. `Umar
menginstruksikan kepada para Gubernur di semua wilayah Islam untuk menghimpun
dan menulis hadis-hadis nabi. Perintah `Umar kepada masyarakat Islam untuk
menuliskan hadis, dikarenakan kekhawatiran `Umar kalau hadis akan hilang dari
masyarakat Islam, tidak ada lagi kekhawatira akan bercampur dengan al-Qur’an,
selain itu juga untuk membersihkan dari hadis-hadis yang palsu.
Dari uraian
di atas, dapat diuraikan beberapa rumusan masalah seperti, apa pengertian
hadis, bentuk-bentuk hadis, apa metode yang dipakai dalam melakukan penelitian
hadis, dan apa kaitannya dengan pendidikan.
Dari rumusan
di atas, manfaat dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengertian hadis,
bentuk-bentuk hadis yang dicontohkan oleh Rasullah, metode yang digunakan untuk
meneliti hadis apa saja dan kaitannya dengan ilmu pendidikan.
B. Pengertian Hadis
Hadis
berasal dari bahasa arab al-Ḥadis berarti baru, الجديد
من الأشياء (sesuatu yang baru),
bentuk jamak hadis dengan makna ini hidats, hudatsa, dan huduts,
dan antonimnya yaitu qadim (sesuatu yang lama). Disamping berarti baru, al-Ḥadis
juga mengandung arti dekat (القريب), yaitu sesuatu
yang dekat, yang belum terjadi dan juga berarti berita (الخبر) yang sama dengan Hiddiṡ yaitu ما يحدث به و ينقل (sesuatu yang dipercakapkan dan
dipindahkan dari seseorang pada orang lain).
Secara
terminologis, hadis oleh para ulama diartikan sebagai segala yang disandarkan
pada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun
sifat-sifatnya. Nur al-din `Itr
mendefinisikan hadis dengan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi baik
perkataan, perbuatan, ketetapan sifat-sifat, tabiat, dan tingkah lakunya atau
yang disandarkan kepada para sahabat dan tabi’in.
Hadis
juga dikenal dengan khabar dan atsar. Khabar dari segi bahasa yaitu sesuatu
yang dikutip atau dibicarakan, sedangkan menurut terminologi jumhur ahli hadis
yaitu segala yang disandarkan kepada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun ketetapan. Menurut ahli fiqh Khurasan, hadis yang Marfu` disebut
khabar dan hadis Mauquf disebut atsar. Atsar secara bahasa berarti yang
tersisa dari sesuatu. Ulama lain mengartikan atsar adalah sesuatu yang berasal
dari sahabat atau tabi`in. Dengan demikian, menurut sebagian ulama, atsar
khusus hadis dari sahabat dan tabi`in.
Sebab-sebab
hadis dinamakan hadis. Menurut al-Zamakhsyari adalah karena “kita dikala
meriwayatkan hadis, berkata: “haddatsani annan Nabiya qala = dia menceritakan
kepadaku, bahwa Nabi bersabda. Menurut pendapat al-Kirmani, adalah
karena dilihat kepada kebaharuannya dan karena diingat perimbangannya dengan
al-Qur’an. Al-Qur’an itu qadim, azaly, sedang hadis ini baharu (bukan
qadim). Hadis terbagi menjadi iga macam, yaitu ulumul hadis, penelitian hadis,
dan syarah hadis.
I.
Ulumul Hadis
Ulumul Hadis adalah disiplin ilmu yang berhubungan dengan
hadis dalam berbagai aspek. Pengertian tersebut didasarkan atas banyaknya ragam
dan macam ilmu yang bersangkut paut dengan hadis. Ulama Mutaqaddimin
merumuskan ilmu hadis secara terminologis dengan ilmu pengetahuan yang
membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasulullah ,
dari segi ihwal para periwayatnya yang menyangkut kedhabitan dan keadilan serta
segi bersambung atau terputusnya sanad dan sebagainya.
Pada perkembangan berikutnya dipergunakan definisi salah
satu bagian dari ilmu hadis oleh ulama mutaakhirin. Secara global, ruang
lingkup pembahasan ulumul hadis mencangkup dua bagian, yaitu: ilmu hadis
riwayat dan ilmu hadis dirayat. Ilmu hadis riwayat adalah ilmu yang menukilkan
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik perkataan, perbuatan, taqrir,
ataupun sifat anggota tubuh ataupun sifat-sifat perangai. Sementara ibnu
Akfani, memberikan pengertian dengan ilmu yang melengkapi penyalinan
perkataan-perkataan Nabi, perbuatan-perbuatannya, periwayat-periwayat hadis,
pendhabitannya, dan penguraian lafal-lafalnya. Diantara ulama hadis ada juga
yang memasukkan ke dalam ilmu hadis riwayat sebagai segala sesuatu yang
disandarkan kepada sahabat lain dan tabiin. Bertolak dari definisi di atas maka
dapatlah dikatakan bahwa ilmu hadis riwayat adalah suatu ilmu yang membahas
segala sesuatu yang datang dari Nabi, baik segi perkataan, perbuatan, taqrir,
maupun yang lain.
Dari pengertian di atas dapat pula diketahui obyek dari
pembahasan ilmu hadis riwayat, yakni pribadi Nabi dari segi perkataan,
perbuatan, taqrir, dan sifat-sifatnya. Dengan membicarakan bagaimana cara
menerima, menyampaikan, dan membukukan hadis. Dalam kaitan ini, hadis hanya
disebut apa adanya, tidak dibicarakan dari sudut kualitasnya. Adapun tujuan
dari pembahasan ilmu ini adalah mempelajari hadis dari segi hubungannya dengan
pribadi Nabi, untuk memahami dan mengamalkan ajaran-ajarannya guna memperoleh
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Di samping itu, ilmu ini juga bertujuan
untuk menjaga sunnah secara tepat dan menjaga kesalahan dalam menyalin apa-apa
yang disandarkan kepada Rasulullah. Ulama yang membahas hadis dengan
perspekstif ilmu riwayat adalah Muhammad ibn Syihab az-Zuhri. Ia menghimpun
hadis Nabi atas instruksi dari Umar ibn Abdul Aziz.
Sedangkan ilmu hadis dirayat ialah ilmu hadis dalam arti
khusus sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu al-Akfani, yaitu ilmu untuk
mengetahui hakikat riwayat, syarat-syaratnya, macam-macamnya, hukum-hukumnya,
keadaan para periwayat dan syarat-syarat serta macam-macam yang diriwayatkan dan yang berhubungan dengan nya.
Ibnu hajar memberikan definisi dengan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada
kita keadaan perawi dan keadaan marwi (matan). Pengertian ini diikuti ahli
hadis terkemuka dan mutaakhirin.
Dengan demikian, ilmu hadis dirayat ialah kumpulan dari
kaidah-kaidah dan masalah-masalah yang di dalamnya dapat diketahui keadaan
riwayat dan menyalin hadis sekaligus dengan sanadnya, baik itu perempuan maupun
laki-laki yang diriwayatkan disandarkan
kepada Nabi atau kepada selainnya baik terhadap sahaba ataupun tabiin dan yang
lain.
Sedangkan tujuan mempelajari ilmu hadis dirayat adalah
untuk mengetahui dan menetapkan dapat diterima atau ditolaknya sebuah hadis.
Dengan demikian, ilmu hadis dirayat sebagai "neraca" yang harus
dipergunakan untuk menghadapi ilmu hadis riwayat. Kajian ini semakin penting
karena di dalamnya termuat kajian historis analisa terhadap segala perbuatan
dan perkataan Nabi Muhammad.
Ilmu hadis mempunyai cabang-cabang keilmuan yang dapat di
kelompokkan menjadi tiga macam, yakni:
a. Cabang ilmu hadis yang pokok pembahasannya bertumpu pada
sanad dan rawi. Di antara ilmu yang masuk ke dalam cabang ilmu ini yaitu:
1. Ilmu Rijal al-Hadis adalah ilmu yang membahas
tentang hal ihwal kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabiin, dan tabiu
at-tabiin.
2. Ilmu Rijal al-ruwah adalah ilmu yang membahas
keadaan rawi berdasarkan pengelompokkan tertentu. Pengelompokan tersebut
didasarkan atas segi umurnya, gurunya, dan lain sebagainya.
3. Ilmu Tarikh Rijal al-Hadis adalah ilmu yang
membahas tentang rawi yang menjadi sanad suatu hadis mengenai tanggal lahirnya,
silsilah keturunannya, gutru-guru yang pernah memberikan hadis kepadanya,
jumlah hadis yang diriwayatkan, dan murid-murid yang pernah mengalami hadis
dari padanya.
4. Ilmu Jarh wa al-ta'dil adalah ilmu yang membahas
tentang hal ihwal para periwayatnya dalm bidang kritik keaiban dan memuji
keadilannya dengan norma-norma tertentu sehingga dari hal itu dapat ditentukan
siapa periwayat yang dapat diterima dan siapa yang ditolak.
b. Cabang-cabang ilmu hadis yang pokok bahasannya bertumpu
pada matan. Yang termasuk kategori ini adalah:
1. Ilmu Gharib al-Hadis adalah ilmu yang membahas
lafal-lafal hadis yang sulit dipahami dikarenakan jarangnya lafal itu digunakan
atau nilai sastranya yang tinggi.
2. Ilmu Asbab Wurud al-Hadis adalah ilmu yang
menerangkan tentang sebab-sebab atau latar belakang lahirnya suatu hadis.
3. Ilmu Tawarikh al-Mutun adalah ilmu yang
menerangkan tentang kapan suatu hadis itu diucapkan atau diperbuat oleh
Rasulullah. Ini berguna sekali untuk mengetahui Nasikh wa Mansukh suatu hadis.
4. Ilmu Nasikh wa al-Mansukh adalah ilmu yang
membahas tentang hadis yang di Mansukh dan yang di Nasikh.
5. Ilmu Mukhtalaf al-Hadis adalah ilmu yang membahas
hadis-hadis yang secara harfiah bertentangan, namun kemungkinan dapat diterima
dengan suatu syarat. Cara yang ditempuh dengan cara membatasi kemutlakan dan
keumumannya yang biasa disebut dengan ilmu Talfiq al-Hadis.
6. Ilmu Tashif wa al-tahrif adalah ilmu yang
menerangkan hadis yang sudah diubah titik dan bentuknya.
c. Cabang-cabang ilmu hadis yang pokok pembahasannya
berpangkal pada sanad dan matan. Yang termasuk dalam cabang ini adalah:
1. Ilmu Ilal al-Hadis adalah ilmu yang menjelaskan
sebab-sebab yang samar yang mencatat suatu hadis. Misalnya, memuttasilkan hadis
yang munqathi, memarfu'kan hadis yang mauquf, dan lain-lain.
2. Ilmu Fann al-Mubhamat adalah ilmu yang menerangkan
tentang nama-nama orang yang tidak disebutkan namanya di dalam matan dan sanad.
II.
Penelitian
Hadis
Penelitian hadis merupakan suatu keniscayaan dalam
kehidupan umat manusia sekarang. Penelitian hadis tidak hanya meneliti sebuah
sanad atau matan, tetapi apapun yang berkaitan dengan hadis.
Penelitian hadis yang pertama yaitu mengenai sanad dan
matan. Dari penelitian sanad dan matan akan menghasilkan perincian dari hadis
itu sendiri, apakah hadis itu sahih, hasan maupun dhaif. Penelitian selanjutnya
yaitu mengenai kitab hadis. kitab hadis disini adalah karangan ulama
mutaqaddimin dan mutaakhirin, di dalamnya akan ada perbedaan mengenai jumlah
hadis, metode penyusunan dan lain sebagainya.
Selain penelitian sanad, matan dan kitab hadis, penelitian
selanjutnya yaitu fiqh/pemahaman. Bagaimana hadis itu muncul, sebab-sebab yang
membuat hadis itu muncul karena apa, dan bagaimana kondisi masyarakat waktu
itu. Yang terakhir yaitu living hadis. praktek-praktek keagamaan yang hidup
dalam masyarakat yang berkaitan dengan hadis yang ditanggapi baik maupun kurang
baik oleh masyarakat. Seperti shalat tarawih, ada yang mengatakan 11 rakaat ada
juga yang mengatakan 23 rakaat.
Sedangkan metode dalam penelitian hadis sebagai berikut. Metodologi
secara umum didefinisikan sebagai “a body of methods and rules followed in
science or discipline”. Sedangkan metode sendiri adalah “a regular
systematic plan for or way of doing something”. Kata metode berasal dari
istilah Yunani methodos (meta+bodos) yang artinya cara.
Dalam melakukan sebuah penelitian, ada beberapa metode
dalam ilmu hadis, seperti metode taḥlīlī, ijmāli, dan muqāran.
Dari berbagai metode itu lah dapat mengetahui bagaimana cara untuk
mengetahui sebuah hadis. Sedangkan pengertian mengenai metode itu antara lain
sebagai berikut:
a.
Metode Taḥlīlī
Kata taḥlīlī berasal dari kata ḥalla - yaḥullu
- ḥallan yang berarti membuka sesuatu (fatḥ al-sya’i), melepaskan
dan menguraikan sesuatu. Kata ini mendapat tambahan huruf lam tasydid
sehingga menjadi ḥallala - yuḥallilu - taḥlilan yang merupakan bentuk wazan
fā’ala – yufā’ilu – taf’ilan.
Metode taḥlīlī adalah menguraikan, menganalisis
atau menjelaskan hadis-hadis Nabi saw. dengan memaparkan segala aspek yang
terkandung dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup
didalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah. Metode tahlili
dalam hadis dapat dilihat pada langkah-langkah yang ditempuh, yaitu menjelaskan
sanad, menjelaskan kosa kata, ungkapan-ungkapan penting Rasul, pendapat para
ulama, asbabul wurud dan kandungan hadis.
Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode taḥlīlī
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, pensyarahan yang dilakukan
menggunakan pola menjelaskan makna yang terkandung didalam hadis secara
komprehensif dan menyeluruh. Kedua, Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan
kata demi kata, kalimat demi kalimat, secara berurutan serta tidak terlewatkan
juga menerangkan sabāb al-Wurūd dari hadis-hadis yang dipahami jika
hadis tersebut memiliki sabāb wurūdnya.
Ketiga, Diuraikan
pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sahabat, tabi’in dan
para ahli syarah lainnya dari berbagai disiplin ilmu. Disamping itu dijelaskan
pula munasabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadis lain.
Diantara kitab syarah hadis yang menggunakna metode ini
adalah Fatḥ al-Bārī Syarḥ al-ṣaḥiḥ al-Bukhārī karya Ibn Ḥajar
al-Asqalānī (w. 852 H). Kitab ini memiliki cakupan pembahasan yang luas
sehingga pesan pokok atau maksud dari suatu hadis sulit ditemukan dengan mudah.
Kelebihan dari metode
ini yaitu: Pertama, Ruang lingkup pembahasan yang sangat luas. Kedua,
Memuat berbagai ide dan gagasan. Dengan
metode ini pensyarah relatif memiliki kebebasan dalam mengemukakan ide-ide dan
gagasan-gagasan baru dalam menjabarkan makna suatu teks hadis daripada metode ijmali,
barangkali kondisi inilah yang membuat tahlili lebih berkembang pesat
dibandingkan dengan ijmali.
Kekurangan
dari metode ini yaitu: Pertama, Menjadikan petunjuk hadis parsial.
Metode analitis ini menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial atau
terpecah-pecah. Kedua, Melahirkan syarah yang subyektif, sehingga pensyarah
tidak sadar bahwa dia telah mensyarah hadis secara subyektif, dan tidak
mustahil pula ada diantara mereka yang mensyarah hadis sesuai dengan kemauan
pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.
b.
Metode Ijmāli
Metode ijmāli
(global) adalah menjelaskan atau menerangkan hadis-hadis sesuai dengan urutan
dalam kitab hadis yang ada dalam al-Kutub al-sittah secara ringkas, tapi
dapat merepresentasikan makna literal hadis dengan bahasa yang mudah dimengerti
dan gampang dipahami. Metode ijmāli dipahami sebagai upaya menjelaskan
hadis secara global dan ringkas, dengan hanya mengungkapkan intisari kandungan
matan hadis.
Kitab-kitab
syarah yang menggunakan metode ijmāli memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: Pertama, pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis dari
awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Kedua, pensyarah
tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat sebanyak-banyaknya. Namun
demikian, penjelasan terhadap hadis-hadis tertentu juga diberikan agak luas,
tetapi tidak seluas metode taḥlīli.
Diantara
kitab syarah hadis yang menggunakan metode ini adalah Syarḥ Sunan al-Nasā’i,
Tanwīr al-Ḥawālik Syarḥ Aujaz al-Masālik ilā muwaṭā’ mālik keduanya karya
al-Suyūṭi (w. 911 H), Subul al-Salām Syarḥ Bulūg al-Marām karya Muḥammad
al-Ṣan’ānī (w. 1182 H), Fatḥ al-Allām li Syarḥ Bulūg al-Marām
karya Abū al-Khair Nūr Ḥasan, dll
Kelebihan
dari metode ini yaitu: Pertama, Ringkas dan padat. Kedua, Bahasa mudah. Sedangkan Kekurangan
dari metode ini yaitu: Pertama, gaya bahasa yang digunakan tidak jauh
berbeda dengan hadis yang disyarahi sehingga terkadang menyulitkan pembaca
untuk memilah mana yang hadis dan mana yang syarah.
Kedua,
Tidak ada ruang
untuk mengemukakan analisis yang memadai. Metode
ijmali tidak menyediakan ruang yang luas dan memuaskan bagi penulisnya
untuk menganalisis sebuah hadis secara detail dan terperinci.
c.
Metode Muqāran
Kata Muqāran
berasal dari kata qarana yang berarti mengumpulkan sesuatu dengan
lainnya atau bisa berarti menggandengkan, menghubungkan, menyambungkan dan
membandingkan sesuatu. Metode muqāran adalah metode memahami hadis
dengan cara, pertama membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama
atau mirip dalam kasus yang sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam
kasus yang sama dan kedua membandingkan berbagai pendapat ulama syarah
dalam mensyarah hadis.
Metode muqāran
(perbandingan) tidak hanya ditujukan kepada lafal-lafal matn saja,
tetapi juga kepada masing-masing sanad-nya. Metode muqāran (perbandingan)
dimaksudkan memberikan penjelasan hadis yang beragam dan atau membandingkan
pandangan para ulama tentang makna kandungan suatu matan hadis.
Kitab-kitab
syarah yang menggunakan metode muqāran memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: Pertama, Membandingkan analitis redaksional (mabāḥiṡ
lafziyyah) dan perbandingan periwayat-periwayat. Kedua, Membahas
perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadis tersebut. Ketiga, Perbandingan
pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena
uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut kandungan (makna) hadis
maupun korelasi (Munasabah) antara hadis dengan hadis.
Diantara contoh kitab syarah hadis yang menggunakan
metode ini adalah Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim karya Imam al-nawawi (w. 676 H), al-Manhal
al-Ḥadīṡ fī Syarḥ al-Ḥadīṡ : Aḥādīṡ Mukhtāraah min Ṣaḥīḥ al-Bukhārī karya
Mūsā Syāhīn Lāsyīn yang banyak merujuk kepada karya al-nawawi dan Ibn Hajar
al-Asqalani.
Kelebihan dari metode ini yaitu: Pertama, memberikan
wawasan pemahaman yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan
dengan metode lain. Kedua, membuka pintu untuk selalu bersikap toleran
terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh berbeda.
Ketiga, pemahaman dengan metode Muqāran sangat berguna bagi mereka yang
ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis. Keempat, pensyarah
didorong untuk mengkaji berbagai hadis serta pendapat-pendapat para pensyarah
lainnya.
Sedangkan kekurangan dari metode ini yaitu: Pertama, Metode
ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang
dikemukakan terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan.
Kedua, Metode
ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalah sosial yang berkembang di
tengah masyarakat, karena pensyarah lebih mengedepankan perbandingan daripada
pemecahan masalah.
Ketiga,
Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman
yang pernah di
III.
Syarah Hadis
Syarah hadis (Syarḥ al-Ḥadis) merupakan gabungan
dari dua kata yaitu Syarḥ dan hadis. Kata Syarah berasal dari bahasa
Arab yaitu syaraḥa, yasyraḥu, syarḥan yang secara etimologi berarti
menyingkap (al-Kasyfu), menerangkan (al-Īḍāḥ), menjelaskan,
menafsirkan, (al-tafsir, al-tabyin), menghampar atau menyebarluaskan (al-Basṭu),
meluaskan sesuatu (tausī al-syai), da memberi komentar pada buku.
Dalam kamus bahasa Inggris, syarah berarti expounding,
presentation, explanation, illustration, elucidation, exposition, commentary.
Misalnya Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Fatḥ al-Bārī) disebut Commentary on Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī. Pada dasarnya kata syarah digunakan dalam arti
memotong daging (Tasyrīḥ al-laḥm). Tetapi jika kata itu dikaitkan dengan
kalimat atau kajian teks maka maknanya adalah menampakkan makna-makna yang
tersembunyi atau belum jelas dalam suatu kalimat, teks atau pembicaraan.
Sedangkan definisi syarah yang mencakup semua komponen
hadis itu, baik sanad maupun matannya, adalah sebagai berikut :
شرح الحديث
هو بيان ما يتعلق بالحديث متنا و سندا من صحة وعلة و بيان معانيه واستحرج أحكامه
وحكمه
Syarah hadis adalah menjelaskan kesahihan dan kecacatan
sanad dan matan hadis, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum dan
hikmahnya. Tradisi syarah dan memberi catatan kaki sering disebut dengan men-tāliq.
Dalam penelitian ini istilah syarah hanya difokuskan kepada syarah dalam arti
penjelasan, uraian, alasan, penjabaran dan analisis terhadap hadis-hadis Nabi
saw. yang terhimpun dalam kitab-kitab syarah hadis sebagaimana yang dikenal
sekarang atau yang sudah menjadi produk jadi. Kata syarah yang digunakan untuk
menjelaskan teks-teks keagamaan (al-nuṣūṣ al-dīnīyah) sama maknanya
dengan tafsir jika dilihat dari sisi kebahasaan (lugawī).
C. Sanad, Matan, dan Rawi Hadis
Hadis
tidak lepas dari tiga pengertian di atas yakni sanad, matan, dan rawi. Tiga
unsur diatas yaitu bagian-bagian yang penting dalam sebuah hadis, karena
sebagai penelitian hadis salah satu contohnya. Adapun pengertiannya sebagai
berikut:
a) Sanad
Menurut arti
kebahasaan, sanad adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan sandaran.
Dikatakan demikian karena hadis bersandar kepadanya. Sedang menurut arti
istilah, terdapat beberapa rumusan pengertian. Al-Badr bin Jamaah dan at-Tibby
misalnya, menyatakan bahwa sanad adalah pemberitahuan tentang munculnya suatu
matan hadis. yang lainnya menyebutkan bahwa sanad adalah silsilah atau rentetan
para perawi yang menukilkan hadis dari sumber yang pertama, atau dengan perkataan lain, sanad
adalah jalan yang dapat menghubungkan matan hadis kepada Nabi Muhammad.
Adapun
istilah yang berkaitan dengan sanad yaitu isnad dan musnad. Isnad adalah upaya
seorang (musnid) dalam menerangkan suatu hadis yang diikutinya dengan
menjelaskan kepada siap hadis itu disanadkan. Sedangkan musnad yaitu kumpulan
hadis yang telah diisnadkan. Kemudian jika dilihat dari kedhabitan rawi dalam
rangkaian sanad, maka sanad itu dapat di bedakan menjadi tiga klasifikasi,
yaitu ashahu al-asanid (sanad-sanad yang paling shahih), ahsan
al-asanid (sanad-sanad yang paling hasan), dan adhaf al-asanid (sanad-sanad
yang paling lemah).
b) Matan
Matan
diambil dari bahasa Arab (matn). Menurut bahasa matn berarti
punggung jalan atau tanah yang keras dan tinggi. Matn kitab berarti yang tidak bersifat komentar dan
bukan tambahan-tambahan penjelasan. Jamak matn adalah mutun. Yang
dimaksud matn dalam ilmu hadis adalah ma yantahi ilayhi as-sanad min
al-kalam yaitu Sabda Nabi yang disebut setelah sanad, atau penghubung
sanad, atau materi hadis, seperti ungkapan tsalatun man kunna sampai
pada an yuqdzafa fi an-nar dalam hadis.
c) Rawi
Rawi adalah
seorang yang menyampaikan atau menuliskan dalam sebuah kitab apa yang pernah
diterimanya dari seseorang (guru). Atau singkatnya rawi adalah orang yang meriwayatkan atau memberitakan
hadis.
D. Bentuk-bentuk Hadis Nabi
1. Hadis yang berupa Ucapan (Qawli).
Segala
perkataan Nabi yang berkenaan dengan Ibadah mapun kehidupan sehari-hari disebut
dengan hadis qawli, yaitu segala bentuk perkataan atau ucapan yang
disandarkan kepada Nabi. Perkataan itu berbagai tuntunan dan petunjuk syara’,
peristiwa-peristiwa, dan kisah-kisah, baik yang berkaitan dengan aspek akidah,
syari’ah, maupun akhlak. Contoh hadis qawli seperti yang di riwayatkan
oleh `Abdullah Ibn Umar bahwa Rasulullah bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ
وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Islam
ditegakkan atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat,
berpuasa ramadhan, dan melaksanakan haji.”
2. Hadis yang berupa Perbuatan (Fi’li).
Dimaksud
dengan hadis fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada Nabi
seperti cara Nabi melaksanakan shalat, wudhu, dan lain-lain disampaikan kepada
umat Islam melalui Sahabat. Hadis tersebut berupa perbuatan Nabi yang menjadi
anutan perilaku sahabat pada saat itu, dan menjadi keharusan bagi semua umat
Islam untuk mengikutinya. Contoh hadis Fi’li seperti berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
كَأنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ فِي الصَّلَاةِ
رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يَكُونَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ
“Dari `Abdullah
ibn `Umar r.a ia berkata: Rasulullah jika melaksanakan shalat mengangkat kedua
tangannya hingga sejajar bahunya kemudian takbir.”
3. Hadis yang berupa Persetujuan (Taqriri).
Hadis taqriri
yaitu hadis yang berupa ketetapan Nabiterhadap apa yang datang atau yang
dilakukan oleh para sahabatnya. Menurut `Abd al-Wahhab Khallaf dalam bukunya `Ilm
Uṣūl al-Fiqh, hadis taqriri adalah penetapan Rasulullah atas sesuatu yang
dilakukan oleh sahabat baik berupa ucapan maupun perbuatan dengan cara
Rasulullah diam (tidak menyangkal), setuju, dan menganggapnya bagus. Contoh
hadis taqriri sebagaimana hadis dari Abu daud:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ الْمَسَيَّبِيُّ أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ عَنْ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ بَكْرِ بْنِ سَوَادَةَ
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ خَرَجَ رَجُلَانِ
فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتْ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا
طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ
وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدْ الْآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ أَصَبْتَ السُّنَّةَ
وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ
“Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Isḥaq Al-Masassayi telah mengabarkan
kepada kami `Abdullāh bin Nāfi` dari Al-Laiṡ bin Sa`d dari Bakr bin Sawādah
dari `Ātha’ bin Yasār dari Abī Sa`id Al-Khudri dia berkata; Ada dua orang
mengadakan perjalanan jauh, lalu waktu shalat tiba sementara mereka tidak
mempunyai air, maka keduanya bertayammum dengan menggunakan tanah yang bersih
dan keduanya shalat, kemudian keduanya mendapatkan air dalam masa waktu shalat
tersebut, maka salah seorang dari keduanya mengulangi shalat dengan berwudhu
dan yang lainnya tidak, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam dan mengisahkan perjalanan mereka, maka Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam bersabda kepada yang tidak mengulang shalat: "Kamu telah
melaksanakan sunnah dan shalat kamu sempurna (tidak perlu diulang) ", dan
beliau bersabda kepada yang berwudhu dan mengulangi shalat: "Kamu
mendapatkan pahala dua kali."
4. Hadis yang berupa Hal Ihwal (Ahwali).
Hadis Ahwali
adalah hadis yang berupa hal ihwal Nabi yang berkenaan dengan sifat-sifat dan
kepribadian serta keadaan fisiknya. Dengan kata lain, hadis Ahwali adalah
sesuatu yang berasal dari Nabi yang berkenaan dengan kondisi fisik, akhlak, dan
keprinadiannya.
Dua hal yang
disebut dalam hadis Ahwali adalah: Pertama, hal-hal yang bersifat
instristik berupa sifat-sifat psikis, dan personalitas yang tercermin dalam
sikap dan tingkah laku keseharian, misalnya cara-cara bertutur kata, makan,
minum, berjalan, menerima tamu, bergaul bersama masyarakat, dan lain-lain.
Aspek intrinstik ini masuk dalam kajian Ilmu akhlak atau etika. Jadi, hal-hal
yang berkenaan dengan etika nabi termasuk hadis Ahwali. Tentang sifat
Nabi, misalnya, dalam hadis Anas Ibn Malik disebutkan sebagai berikut:
كَانَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَحْسَنَ النَّاسِ خَلْقًا.
“Rasulullah
saw. adalah orang yang paling mulia akhlaknya.”
Kedua,
hal-hal yang bersifat ekstrinsik yaitu aspek yahg terkait dengan fisik Nabi
saw. misalnya tentang wajah, warna kulit,dan tinggi badan. Tentang keadaan
fisik Nabi dalam ebebrapa hadis disebutkan diantaranya:
كَانَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَحْسَنَ النَّاسِ وَجْهًا وَاَحْسَنَهُ خَلْقًا لَيْسَ ِالْطَوِيْلِ وَلاَ بِالْقَصْرِ.
“Rasulullah
saw. adalah manusia yang senaik-baik rupa dan tubuh, keadaan fisiknya tidakl
tinggi dan tidak pendek”
5. Hadis yang berupa Cita-cita (Hammi).
Hadis Hammi
yaitu hadis yang berupa keinginan atau hasrat Nabi yang belum terealisasikan.
Hadis kategori ini tidak disebutkan dalam beberapa definisi hadis baik oleh
ulama hadis, ulama ushul, maupun ulama fiqh.
Secara
realitas, hadis Hammi belum terwujud tetapi masih dalam ide dan
keinginan yang pelaksanaannya akan dilakukan pada masa sesudahnya. Karena itu,
pada hakikatnya, hadis kategori ini bukan perbuatan, perkataan, persetujuan,
atau sifat-sifat Nabi. Tetapi perbuatan yang akan dilakukan oleh Nabi pada
masa-masa berikutnya dan belum terwujud ketika Nabi menginginkannya seperti
halnya hasrat berpuasa tanggal 9 `Asyura. Dalam sebuah hadis dari Ibn Abbas
dinyatakan bahwa ketika Nabi berpuasa pada hari `Asyura tanggal 10 dan
memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: “Wahai Nabi, hari
ini adalah haru yang diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani”. Nabi
bersabda:
فَاِذَا كَانَ عَامُ اَلْمُقْبِلُ اِنْ شآ اللهُ صُمْنَا
الْيَوْمَ التَّاَسِعَ.
“Tahun yang
akan datang Insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan.”
Sikap Nabi
demikian itu untuk menghindari waktu yang bersamaan puasa dengan puasa orang
Yahudi dan Nasrani. Pada saat hadis di atas disabdakan, Nabi berpuasa pada
tanggal 10 dan setelah para sahabat memberitahu bahwa pada saat itu puasa bagi
dua pemeluk dua agama di atas, Nabi kemudian bercita-cita untuk berpuasa pada
tanggal 9 `Asyura. Hasrat dan cita-cita itu belum sempat terealisir karena
beliau wafat sebelum datang bulan `Asyura.
E.
Posisi Hadis
dengan al-Qur’an
1. Bayan al-Taqrir.
Bayan al-Taqrir
disebut pula dengan bayan al-Taqyid dan bayan al-Isbat, yaitu
menetapkan menetapkan dan memperkuat apa yang tekah di terangkan dalam
al-Qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkuat isi atau kandungan
al-Qur’an, misalnya:
لاَ تُقْبَلُ صَلَاةٌ مَنْ اَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.
“Salat orang
yang berhadas tidak diterima kecuali setelah ia berwudlu”
Hadis
tersebut sejalan dengan, dan karenanya memperkuat, ketentuan al-Qur’an bahwa
orang yang hendak mendirikan salat harus berwudu terlebih dahulu, seperti ayat:
يَاَاُّيهَا الَّذِينَ اَمَنُوْاِذَا قُمْتُمْ اِلَى
الصَّلَاةِ فَغْسِلُوْا وُجُوهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَفِقِ وَمْسَحُوْا
بِرُؤُسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ .
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mendirikan salat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki.”
Surat
al-Maidah ayat 6 tersebut menjelaskan tentang keharusan berwudu bagi orang yang
akan mendirikan salat, orang yang mendirikan salat tanpa berwudu dinilai tidak
sah, karena wudu merupakan salah satu dari syarat sah salat.
2. Bayan Tafshil.
Bayan
Tafshil berarti penjelasan
dengan merinci kandungan ayat-ayat yang mujmal, yakni ayat-ayat yang bersifat
ringkas atau singkat, sehingga maknanya kurang atau bahkan tidak jelaskecuali
ada penjelasan ataupun perincian. Dengan kata lain, ungkapan ayat itu masih
bersifat global yang memerlukan mubayyin, misalnya:
صُومُوا لِرُؤيَتِهِ وَافْطِرُوا لِرُؤيَتِهِ.
“Berpuasalah
karena melihat hilal dan berbuka (berhari raya)-lah karena melihat hilal.”
Hadis
tersebut menjelaskan tentang tatacara berpuasa Ramadhan yang dimulai dan
diakhiri dengan melihat hilal, sebagaimana penjelasan dari keumuman ayat
tentang puasa, yaitu:
يَاايّها الَّذِينَ آمنوْا كُتِبَ عليكمُ الصِّيامُ.
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa.”
Ayat di atas
hanya menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman diwajibkan berpuasa
sebagaimana pula kepada orang-orang terdahulu sebelum mereka agar mereka
bertaqwa. Kata al-siyam yang berarti puasa tidak dijelaskan kapan
waktunya, meskipun pada ayat berikutnya dinyatakan pada bulan Ramadhan tetapi
sejak kapan memulai dan mengakhiri puasa itu tidak diterangkan secara rinci.
Maka, hadis Nabi menjelaskan bahwa awal dan akhir Ramadhan dapat diketahui
melalui hilal.
3. Bayan Taqyid
Bayan
Taqyid adalah penjelasan hadis dengan cara membatasi ayat-ayat
yang bersifat mutlak dengan sifat, keadaan, atau syarat tertentu. Kata mutlak
artinya kata yang menunjuk pada hakikat kata itu sendiriapa adanya tanpa
memandang jumlah atau sifatnya. Penjelasan Nabi yang berupa taqyid
terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang mutlak antara lain dapat dilihat pada hadis:
لاَتُقطَعُ يدُ السَّارِقهِ إلا فى رُبعِ دينَارٍ
فَصَاعَدَا.
“Tangan
pencuri dipotong jika mencuri seperempat dinar atau lebih.”
Hadis ini
membatasi kadar curian yang menyebabkan pelakunya terkena hukuman potong tangan
yang tidak dijelaskan dalam ayat tentang ini yang bersifat mutlak, yaitu:
والسَّارقُ و السارقةُ فاقطعوا ايديَهُمَا.
“Dan
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.”
Ayat di atas
tidak menjelaskan kadar curian sehingga pelakunya dikenai hukuman potong
tangan. Secara normatif ayat tersebut hanya mengharuskan hukuman potong tangan
bagi pencuri, baik laki-laki maupun perempuan tanpa adanya dispensasi. Kemudian
hadis datang dengan menjelaskan bahwa yang wajib dikenai hukuman potong tangan
adalah pencuri yang mencuri barang senilai seperempat dinar atau lebih.
4. Bayan Takhṣiṣ.
Bayan
Takhṣiṣ adalah penjelasan Nabi dengan cara membatasi atau
mengkhususkan ayat al-Qur’an yang bersifat umum, sehingga tidak berlaku pada
bagian-bagian tertentu yang mendapat perkecualian. Misalnya:
نَحنُ مَعَاشِرَ الاَنبيَاءِ لاَنورث ما تَركنَاهُ صدقةٌ.
“Kami
para Nabi tidak diwarisi, sesuatu yang kami inggalkan menjadi sedekah.”
Hadis
tersebut merupakan pengecualian dari keumuman ayat al-Qur’an yang menjelaskan
tentang disyariatkannta waris bagi umat Islam. sedangkan ayat al-Qur’an yang di
maksud yaitu:
يُوصِيكمُ اللهُ فى اولادكم للذَّكرِ مثل حظِّ الانثيينِ.
“Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu bagian
seorang laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”
Allah
mensyariatkan kepada umat Islam agar membagi warisan kepad ahli waris; dimana
laki-laki mendapat satu bagian dan anak perempuan mendapat separuhnya. Syariat
waris itu tidak berlaku khusus pada para Nabi, sehingga keumuman ayat tersebut
dikhususkan oleh hadis di atas. Dengan kata lain, secara umum, mewariskan harta
peninggalan wajib kecuali para Nabi yang tidak mempunyai kewajiban untuk itu.
5. Bayan Tasyri`.
Bayan
tasyri` adalah penjelasan hadis yang berupa penetapan suatu
hukum atau aturan syar`i yang tidak didapati nashnya dalam al-Qur’an. Dalam hal
ini Rasulullah menetapkan suatu hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul
saat itu dengan sabdanya sendiri, tanpa berdasar pada ayat-ayat al-Qur’an.
Ketetapan Rasulullah tersebut ada kalanya berdasar qiyas ada pula yang tidak,
misalnya:
لاَيُجمعُ بينَ المَرأةِ و عَماتها ولا بينَ المرأة
وخالتها.
“seorang
perempuan tidak boleh dipoligami bersama bibinya dari pihak ibu atau ayahnya.”
Al-Qur’an
tidak menjelaskan tentang keharaman mengawini seorang wanita bersamaan dengan
bibinya baik dari pihak ayah maupun ibunya. Memang, dalam al-Qur’an disebutkan
beberapa kerabat (keluarga) dilarang dikawini seperti ibu kandung, saudara,
anak, dan sebagainya, tetapi ttidak ada larangan mempoligami seorang perempuan
bersama ibunya dengan bibinya. Dalam hal ini hadis menetapkan hukum tersendiri
sebagaimana dijelaskan di atas.
6. Bayan Nasakh.
Bayan
Nasakh adalah penjelasan hadis yang menghapus ketentuan hukum
yang terdapat dalam al-Qur’an. Hadis yang datang setelah al-Qur’an menghapus
ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat
tentang boleh tidaknya hadis menasakh al-Qur’an. Ulama yang membolehkan juga
berbeda pendapat tentang hadis kategori apa yang boleh menasakh al-Qur’an itu.
Mereka mengemukakan contoh:
لاَوصيةَ لوارثٍ.
“Ahli
waris tidak dapat menerima wasiat.”
Hadis
tersebut menasakh ketentuan dalam ayat:
كتب عليكم اذا حضر احدكم الموت ان ترك خيرا الوصية للولدين
والاقربين بالمعروف حقا على المتقين.
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) kematian,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib
kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertaqwa.”
Menurut
Ulama yang menerima adanya Nasakh hadis terhadap al-Qur’an, hadis di
atas menasakh kewajiban berwasiat kepada ahli, yang dalam ayat di atas
dinyatakan wajib. Dengan demikian, seseorang yang akan meninggal dunia tidak
wajib berwasiat untuk memberikan harta kepada ahli, karena ahli waris itu dapat
mendapatkan bagian harta warisan dari yang meninggal tersebut.
F.
Keterkaitan
Hadis dengan Ilmu Pendidikan
Education is life, life is
education. (Lodge,
1967 :23) Demikian Rupert C. Lodge
menyatakan dalam bukunya PhiIosophy ofEducation. Hal ini berarti bahwa proses pendidikan berjalan tiada
henti seiring dengan berjalannya kehidupan seseorang. Sementara John Dewey juga mempunyai pandangan bahwa
pendidikan sebagai salah
satu kebutuhan hidup (a necessity oflife), salah satu fungsi sosial (a
social function),
sebagai
bimbingan (as direction), dan sarana pertumbuhan (as means ofgrowth).
Hadis Nabi
yang berkaitan dengan pendidikan yaitu seperti hadis
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ
Hadis-hadis
tersebut merupakan hadis yang masyhur dalam kalangan masyarakat. Meskipun demikian,
cara yang dapat dilakukan untuk mencari ilmu dapat ditempuh dengan berbagai
cara, misalnya dengan membaca, menulis, atau dengan metode pembelajaran yang
lain. Dalam al-Qur’an sendiri mengajarkan kepada Nabi kita untuk membaca, yang
disebutkan dalam surat al-Iqra. Bahkan hadis lain menyebutkan bahwa jika
kita berilmu, kita bisa menginginkan dunia, akhirat, atau keduanya.
مَنْ
أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ
بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
"Barang
siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia
memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di
akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang menginginkan
kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula".
Dari berbagai hadis diatas, merupakan gambaran akan dunia
pentingnya dunia pendidikan, bahkan ada hadis yang menjadikan mencari ilmu
sebagai kewajiban. Di negara Indonesia, pasal-pasal mengenai pendidikan sangat
banyak,.
Pendidikan
disini tidak hanya belajar dalam suatu sekolah atau universitas, akan tetapi
pendidikan disini mempunyai arti yang sangat luas, semisal pendidikan mengenai
jasmani. Dalam sebuah jurnal Kependidikan Islam dalam Perspektif Hadis Nabi
oleh Nizar ali, disebutkan bahwa, ada sebuah hadis yang membahas tentang
olahraga, yang berarti berikut ini:
Abu Bakar
Ahmad bin al-Hasan al-Qadhi memberitahukan kepada kami (dengan berkata) Abu Ja
'far Muhammad bin 'Ali bin Dahim al-Syaibani menberitahukan kepada kami (yang
berkata) Ahmad bin Ubaid bin Ishaq bin Mubarak al- 'Athar (yang berkata) Ubay
memberitahukan kepada kami (yang berkata) Qais memberitahukan kepada (yang
bersumber) dari Laits (yang berasal) dari Mujahid (yang diperoleh) dari Ibn
'Umar yang berkata: Rasulullah saw bersabda: "Ajarilah anak-anakmu (olahraga)
renang dan lempar panah (memanah), dan (ajarilah)perempuan dengan memintal.
Dari mata
rantai sanad yang terdapat dalam hadis tersebut, yang bermasalah adalah periwayat
bemama Ubaid al-Athar yang memiliki nama lengkap Ahmad ibn 'Ubaid ibn Ishaq ibn
Mubarak al-'Athar. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, ia pernah dan suka berbohong
dan gurunya Qasim ibn Muhammad ibn 'Aqil juga pernah berbohong. Imam al-Bukhari menyatakan bahwa
hadisnya tidak sah, dan Yahya
ibn Ma'in menilai hadis-hadisnya bathil.
Bertolak dari
penelitian sanad tersebut, hadis tentang pendidikan jasmani adalah hadis
dha'if, bahkan dapat mengarah kepada syadid al-dha’, karena terdapat
periwayat yang al-kadzdzab, sebagaimana yang diterangkan sendiri oleh
penyusun kitab syu 'ab al-Iman. Meskipun hadis ini dha'if, tetapi
kandungan maknanya tidak bertentangan dengan ajaran universal agama Islam yang mengajarakan
untuk berlomba dalam ketangkasan pacuan kuda sebagaimana yang dilakukan Nabi
saw.
Pada
dasarnya kandungan hadis Nabi saw tersebut berisi anjuran untuk mengajarkan
anak berolahraga dan mengajarkan perempuan untuk memiliki ketrampilan memintal.
Tiga hal sebagaimana yang disebut
hadis – meskpin lemah - adalah
berenang, melempar panah,
dan memintal yang diperuntukkan khusus perempuan.
Anjuran Nabi saw tersebut juga didukung oleh perintah Nabi
kepada para orang
tua untuk mendidik anak-anaknya memanah dan membiasakannya, menganjurkan perlombaan dan
pertandingan untuk memberikan semangat dan motivasi
atas olahraga tersebut. Suatu ketika, Nabi saw peraah mengadakan perlombaan pacuan koda dan
memberi hadiah kepada pemenang. Beliau juga menganjurkan pertandingan gulat,
permainan
pedang. Lomba jalan
kaki dan sebagainya.
Dalam
tradisi orang Arab pra-Islam dapat diketahui bahwa memang olahraga yang
bersifat ketangkasan telah menjadi tradisi bangsa Arab dengan jenis olahraga
yang didominasi oleh kegiatan memanah, berkuda, dan bermain pedang. Apa yang disabdakan Nabi saw adalah bentuk
dari kontuinitas tradisi bangsa Arab yang dinilai tidak bertentangan dengan agama, bahkan menjadi
pemicu alat untuk dakwah. Kemungkinan yang dapat dianalisis — meski masih
spekulatif- adalah Nabi saw. ingin
mengantisipasi keadaan suatu saat apabila diperlukan orang yang tangguh dalam
berperang melawan musuh, maka harus memiliki keahlian dan ketangkasan yang
memerlukan fisik yang kuat. Jenis
olahraga yang dapat dicapai adalah dengan berolahraga berkuda dan bermain
pedang. Demikian memanah. Siapa yang pandai bermain kuda, atau bermain pedang, ataupun memanah, maka dapat direkrut menjadi pasukan perang yang handal manakala
dibutuhkan.
Kesimpulan
Hadis yaitu segala yang disandarkan
pada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifatnya.
Hadis terbagi menjadi iga macam, yaitu ulumul hadis, penelitian hadis, dan
syarah hadis. Ulumul hadis juga terbaggi menjadi tiga bagian, yaitu Cabang ilmu
hadis yang pokok pembahasannya bertumpu pada sanad dan rawi. Cabang-cabang ilmu
hadis yang pokok bahasannya bertumpu pada matan. Cabang-cabang ilmu hadis yang
pokok pembahasannya berpangkal pada sanad dan matan. Sedangkan penelitian hadis
mencakup penelitian sanad dan matan, penelitian kitab hadis, penelitian
pemahaman, dan penelitian living. Adapun metode dalam penelitian hadis ada tiga
macam, yakni taḥlīlī, ijmāli, dan muqāran. Bentuk-bentuk
hadis selaian perkataan, perbuatan, dan ketetapan, hadis juga hal ihwal dan
cita-cita seperti yang penulis sebutkan di atas.
Jika hadis
dikaitkan dengan pengetahuan, maka hadis berikut ini yang sesuai "Barang
siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia
memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) di
akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang menginginkan
kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula". Dari
tersebut, merupakan gambaran akan pentingnya dunia pendidikan, bahkan ada hadis
yang menjadikan mencari ilmu sebagai kewajiban.
Jadi pada intinya hadis yaitu sabda
Rasulullah yang bisa dijadikan pedoman, bahkan hadis yang dianggap palsu jika
tidak bertentangan masih bisa dipakai dengan syarat.
Daftar
Pustaka
Ali, Atabik. Kamus
Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003.
Ali, Nizar. “Kependidikan Islam
dalam Perspektif Hadis Nabi”,Jurnal Penelitian Agama, Vol. XVII, No.1
Januari-April 2008.
Ali, Nizar. Memahami hadis
Nabi; Metode dan Pendekatan. Yogyakarta: Cesad YPI Al Rahmah, 2001.
Anṣārī, Jamāl al-Dīn Abū al-Faḍl
Muḥammad bin Mukram bin Manẓūr al-Ifrīqī al-Miṣrī al. Lisān al-Arab. Kairo:
al-Muassasah al-Misriyyah al-‘Ammah, tt.
Aṣfahānī, Abū al-Qāsim al-Ḥusain
bin Muḥammad bin al-Mufaḍḍal al-rāgib al. (selanjutnya ditulis al-rāgib al-Aṣfahānī),
Mu’jam Mufradāt alfāẓ al-Qur’an. Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmīyah, cet
III, 2008.
Ermawati. “Telaah Pemikiran
al-Aini Dalam Umdah al-Qari Kitab al-Buyu’ Bab Bai’ al-Khilth Min al-tsamari
(Tinjauan Metode, Teknik, dan Pendekatan)”,Rausyan Fikr, Vol.6, No.1
Januari-Juni 2010.
Fayyūmī, Abū al-Abbās Aḥmad bin
Muḥammad bin Alī al. al-Miṣbāḥ al-Munīr. Kairo: Dār al-Ghadd al-Jadīd,
cet-1 1428 H/ 2004 M.
Idri, Studi Hadis. Jakarta:
Kencana, 2010.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi
Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus
al-Munawwir: Arab Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Nurkholis, Mujiono. Metodologi
Syarah Hadis. Bandung: Fasygil Grup, 2003.
Rahman
(dkk.), Fazlul. Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002.
Shiddieqy, Hasbi Ash. Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis. Yogyakarta: Bulan Bintang, 1980.
Siddiqi, Muhamad Zubayr. The
Hadits For Beginnner. India: Goodword Book, cet-1, 1961.
Somantri, Gumilar Rusliwa.
“Memahami Metode Kualitatif”, Makara, Sosial Humaniora, Vol 9, No.2,
Desember 2005.
Steingass, F. Arabic English
Dictionary. New Delhi: Cosmo Publication, 1978.
Suryadi, Metodologi
Penelitian Hadis. Yogyakarta: Teras, 2009.
Suryadilaga, Muhammad Alfatih. Aplikasi
Penelitian Hadis. Yogyakarta: Kalimedia, 2016.
_________, Muhammad Alfatih. Metodologi Syarah Hadis Era Klasik Hingga Kontemporer: Potret
Konstruksi Metodologi Syarah Hadis. Yogyakarta: Suka-Press, 2012.
_________, Muhammad Alfatih. Ulumul
Hadis. Yogyakarta: Kalimedia, 2015.
Wehr, Hans. A Dictionary of
Modern Written Arabic: Arabic English. London: Wiesbaden Otto Harrassowitz,
1971.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar