Pendidikan Menurut Pemikiran Ibnu Farabi

Latar Belakang
Dalam Buku The Philosopher’s Handbook disebutkan bahwa, aku berfikir maka aku ada. Maka jelas, kalau kita ingin dianggap ada, hendaknya kita berfikir. Tentang apa ? Apapun. Bahkan, dalam kitab alala juga disebutkan, wong due ngelmu urip langgeng sakwise mati betapa pentingnya sebuah ilmu itu. Meskipun kita sudah meninggal, namun jika ketika berilmu, banyak orang yang mau mendoakan kita, menziarahi kita.
Imam al-Asy’Ari berpendapat, bahwa sesungguhnya orang yang berilmu dengan orang yang belajar tidak bisa mempunyai pengetahuan kecuali dengan ilmu. Nah, salah satu jalan yang digunakan untuk menunut ilmu dengan cara belajar yakni dengan konsep pendidikan.
Konsep pendidikan selalu menarik untuk dibahas. Banyak tokoh yang telah mengupasnya baik dari kalangan Muslim maupun Non-Muslim. Al-Farabi merupakan salah satu tokoh yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan. Al-Farabi juga merupakan salah satu tokoh filsuf yang terkemuka.
Al-Farabi juga merupakan sosok Muslim yang meletakkan dasar-dasar filsafat Islam secara sistematis dan rinci untuk memudahkan pemahaman bagi orang setelahnya, pemirkiran filsafatnya dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani.
Al-Farabi disebut juga dengan guru kedua, karena: Pertama, sangat menonjol dalam Ilmu Logika (Manthiq) yang mana menjadi pondasi semua cabang ilmu. Kedua, beliau merupakan filosof terbesar setelah filosof Yunani yang mengahrmoniskan pemikiran-pemikiran Aristoteles dan Neo Plantonis. Ketiga, kepiawaiannya menyusun rambu-rambu filsafat sehingga mudah dikaji orang sesudahnya.
Dari latar belakang tersebut dapat ditarik rumusan masalah, siapa itu al-Farabi, dan Bagaimana Pemikiran al-Farabi tentang Pendidikan ? untuk itulah penulis menulis karya tulis ini untuk mengetahui pemikiran beliau mengenai dunia pendidikan.

A.    Biografi al-Farabi
Al-Farabi mempunyai nama Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Torkhan bin Uzlugh. Sebenarnya nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan di desa Wasif dalam kota Farab yang lahir pada tahun 259 H (870 M). Perlu untuk di ketahui, sebutan Al-Farabi sama sekali bukan berdasarkan nama dari keluarganya sebagaimana tradisi di negara Arab, melainkan diambil dari nama tempat kelahirannya, dan ini merupakan gelar bagi orang yang mendalami ilmu pengetahuan.
Lingkungan Farab mayoritas penduduknya berfaham fiqh Syafi'iyyah ditambah kondisi ekonomi keluarga yang memadai, memungkin Abu Nasr muda menerima pendidikan yang layak. Dia digambarkan sejak dini memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir subjek yang dipelajari, terutama dalam bidang bahasa. Konon ia dapat berbicara dalam tujuh macam bahasa, denan empat bahasa yang paling dikuasai yakni Arab, Persia, Turki, dan Kurdi.
Selain di kampung halamannya, al-Farabi pernah berdomisili di Bukhara untuk menempuh studi lanjut Fiqh dan ilmu religius lainnya. Kota Bukhara yang saat itu berada dalam pemerintahan Nasr ibn Ahmad (260-279 H/ 874-892 M) dikenal sebagai masa awal kebangkitan sastra dan budaya Persia dalam Islam. Di sinilah al-Farabi mempelajari musik untuk pertama kalinya, dan di kota ini pula ia pernah menjadi hakim.
Hanya beberapa saaat menjadi hakim, al-Farabi mendengar adanya seorang guru yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis. Segera ia melepaskan jabatan itu dan mulai tenggelam dalam kesibukan mempelajari ilmu logika dan filsafat Aristetolian kepada Yuhanna ibn Hailan di kota Merv, Khurasan.
Saat berusia 40 tahun, al-Farabi hijrah ke Baghdad yang kala itu merupakan pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan dunia. Di sana ia belajar kaidah-kaidah bahasa Arab kepada Abu Bakr al-saraj juga belajar ilmu logika serta fisika kepada seorang Kristen, Abu Bisyr Mattius ibn Yunus.
Menurut Osman Bakar, al-Farabi berangkat ke Baghdad itu adalah sekitar tahun 287 H/ 900 M dari kota Merv bersama gurunya Ibn Hailan. Jadi selain berguru kpeada yang lain, selama di Baghdad al-Farabi tetap belajar pada Ibn Hailan. Bahkan, pada fase selanjutnya al-Farabi pun ikut pindah ke Harran mengikuti sang guru. Besar kemungkinan Ibn Hailan lah yang mempengaruhi al-Farabi untuk melanjutkan studinya ke Konstantinopel yang erat akan pertautannya degan mazhab filsafat Alexandria. Al-Farabi menetap di Konstantinopel selama 8 tahun hingga menyelesaikan studi ilmu-ilmu dan seluruh silabus filosofis.
Barulah pada rentang waktu antara 297-307 H/ 910-920 M al-Farabi kembali ke Baghdad dan tercatat sebagai murid Matta ibn Yunus, salah seorang filosof Nestorian. Di bawah bimbingan Matta inilah, al-Farabi mampu menguraikan gagasan-gagasan abstrak menjadi mudah dipahami dan mengungkapnya dengan istilah yang sederhana. Bahkan kemudian, ajaram dam tulisan-tulisan al-Farabi pada masa ini dengan cepat memantapkan reputasinya sebagai filosof muslim terkemuka, melebihi gurunya, Matta ibn Yunus dalam bidang logika.
Al-Farabi sendiri tercatat sebagai guru Yahya ibn ‘Adi (w. 974 M), penerjemah Kristen penting lainnya sekaligus ahli logika yang cukup terkemuka. Al-Farabi juga dikisahkan telah mengajarkan logika kepada seorang ahli tata-bahasa, Ibn al-Sarraj, yang pada gilirannya mengajari al-Farabi tata-bahasa Arab.
Pada tahun 330 H/ 941 M, al-Farabi pindah ke Damsyik (Damaskus-Suria) dan berkenalan dengan Said al-daulah al-Hamdani. Sulthan dinasti Hamdan di Halab (Aleppo). Sulthan tampaknya amat terkesan dengan kealiman dan keintelektual beliau, hingga mengajaknya pindah ke Aleppo. Di Aleppo sulthan memberikan kedudukan yang baik kepada al-Farabi sebagai penasehat istana sampai ia wafat di sana sekitar tahun 337 H/ 950 M dalam usia 80 tahun.  Kemudian dimakamkan di pekuburan yang terletak di luar gerbang kecil kota (al-bab al-saghir) bagian selatan. Saif al-Daulah sendirilah yang memimpin sejumlah pejabat istana dalam upacara pemakaman al-Farabi, salah satu sarjana yang pertama sekaligus anggota paling terkenal dari “Lingkaran Saif al-Daulah”.

B.     Karya-Karya al-Farabi
Sejauh ini, sebagian besar karya al-Farabi dicurahkan pada logika dan filsafat bahasa. Karena sesungguhnya, kata sejumlah penulis biografi Abad Pertengahan, ketajaman logika al-Farabi merupakan landasan kemasyhurannya. Filosof dan juga sejarahwan, Ibn Khaldun (732-808 H/1332-1406 M), menyatakan bahwa terutama karena capaian-capaian dalam logikalah sebenarnya al-Farabi digelari “Guru Kedua” (al-Mu‘allim al-Tsani), jika hanya dibandingkan dengan Aristoteles sendiri.
Julukan guru kedua yang disematkan kepada al-Farabi antara lain dengan alasan; Pertama, sangat menonjol dalam Ilmu Logika (manthiq) yang menjadi pondasi semua cabang ilmu, terutama Ilmu Filsafat dan Logika yang dibangun Aristoteles dijelaskan kembali dalam karyanya fi al-‘Ibarat, penguasaannya terhadap Ilmu Logika dalam usia yang relatif sangat muda, bahkan mampu mengungguli gurunya Abu Bisyir Matta bin Yunus yang kala itu termasuk orang termasyhur bidang logika di Baghdad. Kedua, al- Farabi filosof terbesar setelah filosof Yunani yang berhasil mengharmoniskan pemikiranpemikiran Aristoteles dan Neo-Platonis. Ketiga, kepiawaiannya menyusun rambu-rambu pengetahuan filsafat sehingga mudah dikaji orang orang sesudahnya, ia tuangkan dalam kitab Ihsha’ul ‘Ulum. Kitab tersebut berisi lima bab dengan kategori berbeda yaitu ilmu lisan yang membahas lafadz dan pedoman pengambilan dalil bayaninya, ilmu mantiq atau silogisme, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan teologi serta ilmu fiqh dan ilmu kalam, Dalam kitab tersebut Sebagaimana Aristoteles yang membuat rumusan filsafat dan bisa dimengerti dengan sistematis orang orang setelahnya. Dalam Ihsha’ul Ulum al-Farabi menjelaskan beberapa kategori ilmu dan urutan mempelajarinya.
Namun segera harus dicatat bahwa sebelum al-Farabi belajar ilmu-ilmu logika dan yang lainnya, sebagai seorang anak Muslim, ia terlebih dahulu belajar al-Qur’an. Karena tradisi belajar informal sangat berlaku dalam konsep pendidikan Islam klasik, terutama pada usia kecil al-Farabi, sebagaimana yang disinyalir oleh Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah. Maka, pengaruh al-Qur’an inilah yang tampak jelas pada sisi intelektual dan spiritual al-Far abi. Di samping belajar tata-bahasa Arab, literatur, dan ilmu-ilmu agama (the religious sciences), khususnya: fiqh (jurisprudence), tafsir (exegesis), ilmu hadis (science of the traditions), dan aritmatika.
Di antara karya al-Farabi adalah sebagai berikut: Maqalah fi Aghrad al-Hakim fi Kulli Maqalah min al-Kitab al-Marsum bi al-Huruf. Buku ini merupakan verifikasi terhadap buku Aristoteles yang berjudul Tahqiq Ghard Aristatalis fi Kitab ma Ba‘da al-Tabi‘ah, Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat, Syarh Risalah Zainun al-Kabir al-Yunani, Risalah fi Masa’il Mutafarriqah, Al-Ta‘liqat, Al-Jam’u baina Ra’yai al-Hakimain Aflatun wa Aristu, Risalah fima Yajibu Ma‘rifatuhu Qabla Ta‘allum al-Falsafah, Risalah Tahsil al-Sa‘adah, Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah, Kitab al-Siyasat al-Madaniyyah, Kitab al-Musiqa al-Kabir, Ihsa’ al-‘Ulum, ‘Uyun al-Masa’il, Al-Tanbih fi Sabil al-Sa‘adah, Fusus al-Hikam, Maqalah fi Ma‘ani al-‘Aql, Tajrid Risalah al-Da‘awa al-Qalbiyyah al-Mansubah li Aristu, Al-Nuqat fima Yasihhu wama la Yasihhu min Ahkam al-Nujum, Risalah fi Jawab Masa’il Su’ila ‘Anha, Talkhis Nawamis Aflatun. Sementara karyanya yang secara khusus berbicara tentang logika (al-mantiq) adalah: Al-Tawti’ah fi al-Mantiq, Khamsah Fusul Tasytamilu ‘ala Jami‘ ma Yadtarru ila Ma‘rifatihi min Ada’ al-Syuru‘ fi Sina‘at al-Mantiq.

C.    Pengertian Pendidikan
Secara bahasa pendidikan berasal dari bahasa Yunani, paedagogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar oleh seorang pelayan. Pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan Paedagogos. Dalam bahasa Romawi pendidikan diistilahkan sebagai educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual. Banyak pendapat yang berlainan tentang pendidikan.Walaupun demikian, pendidikan berjalan terus tanpa menunggu keseragaman arti.
Menurut Crow and crow, seperti yang dikutip oleh Fuad Ihsan dalam bukunya “Dasar-dasar Kependidikan”, mengatakan bahwa pendidikan adalah proses yang berisikan berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan social dari generasi ke generasi.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Paulo Freire ia mengatakan, pendidikan merupakan jalan menuju pembebasan yang permanen dan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah masa dimana manusia menjadi sadar akan pembebasan mereka, damana melalui praksis mengubah keadaan itu. Tahap kedua dibangun atas tahap yang pertama, dan merupakan sebuah proses tindakan kultural yang membebaskan.
Sebenarnya esensi dari pendidikan itu sendiri adalah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide, etika dan nilai-nilai spiritual serta estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa.
Dalam bahasa arab, kata pendidikan juga berarti Tarbiyah. Adapun rinciannya sebagai berikut: Tarbiyah adalah proses pengembangan dan bimbingan jasad, akal dan jiwa yang dilakukan secara berkelanjutan sehingga mutarabbi (anak didik) bisa dewasa dan mandiri untuk hidup di tengah masyarakat.
Tarbiyah adalah kegiatan yang disertai dengan penuh kasih sayang, kelembutan hati, perhatian bijak dan menyenangkan; tidak membosankan.
Tarbiyah adalah mendidik anak melalui penyampaian ilmu, menggunakan metode yang mudah diterima sehingga ia dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tarbiyah adalah kegiatan yang mencakup pengembangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan dan perasaan memiliki terhadap anak didik.
Sedangkan menurut al-Farabi yaitu Al-Farabi banyak menggunakan istilah untuk menggambarkan konsep pendidikan. Antaranya ialah istilah ta’dib (proses mendidik), taqwim (proses menilai), tahzib (proses melatih), tasydid (proses memberi tunjuk ajar ), ta’lim (proses mengajar), irtiyad (proses melatih) dan tarbiah (proses membentuk). Namun, pendidikan yang sebenar dalam pandangannya adalah adab iaitu gabungan kepada semua istilah yang mana memandu dan membina akhlak dan etika serta peradaban individu.

D.    Pemikiran al-Farabi tentang Filsafat
Definisi filsafat menurut al-Farabi adalah al-‘ilm bi al-maujudat bi mahiya almaujudat. Ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnya dari segala yang ada, termasuk menyingkap tabir metafisika penciptaan. Al-Farabi menuangkan pemikiran filsafat penciptaannya dalam karyanya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah yang dimulai pembahasan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, menunjukkan keseriusannya menyingkap tabir gelap pemikiran filsafat metafisika. Tuhan menurutnya sebab pertama dari semua wujud yang ada di jagat raya ini, sama dengan konsep Tuhan menurut madzhab Aristoteles bahwa, Tuhan maha hidup, azali dan abadi, tiada yang paling awal darinya dan tiada yang paling akhir selainnya, tidak memerlukan iradah yang muaranya adalah sebuah pilihan, karena Tuhan telah sempurna. Dia tidak percaya bahwa Tuhan  tiba-tiba saja memutuskan untuk menciptakan alam, karena hal itu akan menimbulkan pemahaman Tuhan yang abadi dan statis tiba-tiba mengalami perubahan.
Al-Farabi sependapat bahwa alam ini ‘baru’ yang terjadi dari tidak ada sama dengan pendapat al Kindi, Berbeda dengan konsep filsafat metafisikanya Plato yang dikonsepsikan dengan alam idea, Plato hendak mengingkari sifat wujud Tuhan dalam mensucikan Tuhan, karena apabila mempunyai sifat maka Tuhan tidak berbeda dengan wujud yang lain. Al-Farabi mengartikan alam idea dari segi kekekalannya mirip dengan alam akhirat. Dalam perjalanan sejarahnya ‘alam idea’ Plato ini dihidupkan kembali oleh Plotinus, yang kemudian lebih masyhur dikenal dengan nama neoplatonis.

E.     Pemikiran Al-Farabi Tentang Pendidikan
Menurut Al-Farabi, pendidikan merupakan media untuk mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, dan keterampilan praktis bagi individu dalam periode dan budaya tertentu. Tujuan akhirnya, membimbing individu untuk menuju kesempurnaan. Sebab, manusia diciptakan guna mencapai kesempurnaan. Sementara, kesempurnaan tertinggi adalah kebahagiaan. Menurut Al-Farabi, manusia yang sempurna adalah mereka yang telah mengetahui kebajikan secara teoretis dan menjalankannya dalam praktik keseharian.
Pendidikan, menurut Al-Farabi, harus menggabungkan antara kemampuan teoretis dari belajar yang diaplikasikan dengan tindakan praktis. Kesempurnaan manusia, kata beliau, terletak pada tindakannya yang sesuai dengan teori yang dipahaminya. Ilmu tidak akan mempunyai arti kecuali jika ilmu itu dapat diterapkan dalam kenyataan dalam masyarakat. Jika tidak diterapkan maka ilmu itu tidak berguna. Singkatnya, kata Al-Farabi, seseorang menjadi sempurna jika ia mempraktikkan ilmunya dalam tataran praktis. Dengan pandangannya yang seperti itu, Al-Farabi menekankan terwujudnya suatu kesempurnaan dalam ranah pendidikan. Yaitu, meleburnya pengetahuan intelektual dan perilaku yang saleh.
a.       Pendidik dan Peserta Didik
Al-Farabi menyimpulkan, pendidikan yang berhasil sangat berkorelasi dengan kondisi moral yang baik. Terkait soal moral ini, ia mendefenisikan moral sebagai keadaan pikiran tempat manusia melakukan perbuatan yang baik yang memiliki sifat etis atau rasional.
Dalam pemikirannya tentang pendidikan, ia pun menekankan agar kaum terpelajar tak hanya berdiam di menara gading. Tak heran jika Al-Farabi menyatakan, kesempurnaan teoretis dan praktik dari pengetahuan yang dimiliki seseorang hanya bisa diperoleh dalam masyarakat. Sebab, kehidupan di suatu masyarakatlah yang bisa membuat seseorang mempraktikkan ilmunya.
Bila kaum terpelajar memutus sama sekali kaitan dengan masyarakat dan berada di luar mereka, ujar Al-Farabi, maka kemungkinan mereka hanya belajar untuk menjadi sosok yang liar tanpa kendali. Dalam konteks ini, ia ingin mewujudkan masyarakat ideal melalui pendidikan. Al-Farabi memasukkan pula seni sebagai salah satu mata pelajaran yang harus diajarkan dalam proses pendidikan. Sebab, ungkap Al-Farabi, orang bijak adalah mereka yang sangat mahir dalam bidang seni dan mencapai kesempurnaan di dalamnya. Oeh sebab itu, sebagaimana tujuan pendidikan menurut Al-Farabi adalah menjadikan manusia yang benar-benar sempurna. Maka kemungkinan beliau berharap dunia ini dipegang oleh generasi Islam yang terpelajar dan intelektual yang mana keduanya merupakan sifat dari pendidik dan peserta didik.
Al-Farabi mengatakan kaedah yang digunakan dalam pengajaran mestilah bersesuaian dengan tahap individu yang hendak belajar. Tidak kira sama ada seseorang itu dari golongan biasa atau golongan atasan. Al-Farabi menganggap pendidikan adalah penting dan meletakkan ilmu mengatasi segala-galanya.

b.      Metode Pendidikan
Menurut Al-Farabi, pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu. Tanpa pendidikan, seseorang tidak dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hidup. Dengan demikian, pendidikan harus tersedia bagi semua orang tanpa memandang strata sosial mereka. Namun, metode pengajaran dalam pendidikan harus disesuaikan menurut kelompok tertentu.
Al-Farabi mengatakan, ada dua metode dasar pendidikan. Pertama adalah metode yang disesuaikan untuk rakyat biasa dengan langkah persuasif. Menurut Al-Farabi, metode persuasi merupakan metode membujuk pendengar dengan hal-hal yang logis dan memuaskan pikirannya tanpa mencapai kepastian. Bujukan akan tercapai ketika pendengar melakukan hal-hal yang dia yakini adalah benar. Dalam praktiknya, metode persuasif dapat dilakukan melalui pidato dan kegiatan bersama-sama antara guru dan murid. Metode persuasif cocok untuk mengajarkan mata pelajaran seni dan kerajinan. Sedangkan, metode kedua adalah demonstratif. Pengajaran dengan metode kedua ini dapat dilakukan melalui pidato. Dengan metode ini, jelas Al-Farabi, guru berpidato untuk menerangkan mata pelajaran yang diajarkannya, seperti mengajarkan teori-teori tentang kebajikan dalam masyarakat.
Selain itu, Al-Farabi juga mengadopsi metode filsuf Yunani, Plato. Ia menggunakan metode dialog atau perdebatan. Ia menekankan pula pentingnya diskusi dan dialog dalam pengajaran. Dalam konteks ini, ia memperkenalkan dua hal baru, yaitu argumen dan wacana. Metode wacana dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ilmiah tentang suatu hal. Lalu, orang-orang akan didorong untuk memecahkan masalah ilmiah tersebut. Sedangkan, metode argumen digunakan untuk memenangkan debat atas lawan bicara. Bahkan, metode ini juga bertujuan agar lawan bicara memercayai gagasan yang sebelumnya mereka tolak. Al-Farabi mengungkapkan, metode argumen cocok untuk mengajar orang-orang yang keras kepala.
Untuk mengajar masyarakat umum, sebaiknya gunakan metode yang paling dipahami. Al-Farabi menuliskan semua metode pengajaran tersebut dalam bukunya yang berjudul Al-Alfadz. Ternyata metode yang beliau munculkan yakni metode persuasif dan demonstratif serta metode wacana dan argumen, sampai saat ini masih tetap diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan di seluruh Indonesia,  mulai dari lembaga pendididkan terendah sampai lembaga pendidikan tertinggi.

c.       Metode mengajar
Menurut al-Farabi, metode dalam mengajar ada dua macam, Pertama, untuk menimbulkan rasa kesalehan dan mengamalkan ilmu (arts) seperti metode yang meyakinkan, yaitu bahwa murid harus mengakuinya sebagai miliknya dan mengamalkannya secara spontan.
Kedua, seorang guru harus menggunakan metode pemaksaan yang ditujukan untuk mereka yang tidak merasa memilki perasaan sebagai penduduk dan mereka yang tidak memilki kesadaran terhadap keberadaan dirinya.
Lebih lanjut al-Farabi, bahwa raja adalah seorang guru bagi suatu bangsa dan sebagai master bagi seluruh rumah, dan guru dihadapan murid ibarat sebuah rumah. Dengan demikian ia lebih dahulu menggambarkan kualitas raja dan iman secara ketat sama halnya dengan diharapkan bagi seorang guru.

F.     Kurikulum Pendidikan
Klasifikasi Ilmu menurut al-Farabi disusun dalam karyanya yang terkenal yaitu “Ihsha al-ulum” al-Farabi membangun klasifikasi ilmu yang terperinci namun tetap terpadu, berdasarkan tiga pengelompokkan utama ilmu: Metafisik, Matematik, dan Ilmu-ilmu Alam. 1) Metafisik 2) Matematik. Menurut al-Farabi dibagi menjadi tujuh cabang, yaitu: aritmatika, geometri, astronomi, musik, optika, ilmu tentang gaya, alat-alat mekanik. 3) Ilmu-ilmu Alam. Ilmu-illmu alam, yang menyelidiki benda-benda alami dan aksiden-aksiden yang inheren didalamnya, dibagi menjadi: (a) Minerologi, yang meliputi kimia, geologi, metalurgi; (b) Botani yang berkaitan dengan seluruh spesies tumbuhan, dan sifat umum dan sifat-sifat khusus dari masing-masing spesies; (c) Zoologi, yang berhubungan dengan berbagai spesies binatang yang berbeda-beda, serta sifat-sifat umum dan sifat-sifat khusus dari masing-masing spesies, termasuk ke dalam katagori ini adalah: pertama Psikologi yang membahas daya-daya tumbuhan, hewan dan manusia; kedua Kedokteran yang berbicara tetang manusia dari sudut sehat atau sakitnya. Arti penting klasifikasi ilmu ini adalah untuk memudahkan penyusunan kurikulum dari ilmu yang ingin diajarkan kepada murid-murid. Sebagai ilustrasi dari klasifikasi ilmu yang berdampak positif pada kurikulum yang dibangun.

G.    Kesimpulan
Nama lengkap Al-Farabi yaitu Abu Nasr Muhammad bin Muhammad Torkhan bin Uzlugh yang lahir pada tahun 259 H di desa Wasif dalam kota Farab. Karya beliau sangatlah banyak. Dan pendapat beliau mengenai pendidikan yaitu pendidikan yang sebenarnya dalam pandangannya adalah adab iaitu gabungan kepada semua istilah yang mana memandu dan membina akhlak dan etika serta peradaban individu. Menurut beliau, pendidikan merupakan media untuk mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, dan keterampilan praktis bagi individu dalam periode dan budaya tertentu. Tujuan akhirnya, membimbing individu untuk menuju kesempurnaan. Sebab, manusia diciptakan guna mencapai kesempurnaan. Sementara, kesempurnaan tertinggi adalah kebahagiaan.
Dalam pemikirannya mengenai pendidikan terdapat tiga bagian, yaitu (1) adanya pendidik dan perserta didik, (2) metode pendidikan, dan (3) metode mengajar.
Al-Farabi mengatakan, ada dua metode dasar pendidikan. Pertama adalah metode yang disesuaikan untuk rakyat biasa dengan langkah persuasif. Sedangkan, metode kedua adalah demonstratif. Pengajaran dengan metode kedua ini dapat dilakukan melalui pidato. Dengan metode ini, jelas Al-Farabi, guru berpidato untuk menerangkan mata pelajaran yang diajarkannya, seperti mengajarkan teori-teori tentang kebajikan dalam masyarakat. Dan jika untuk mengajar masyarakat umum, sebaiknya gunakan metode yang paling dipahami.
Menurut al-Farabi, metode dalam mengajar ada dua macam, Pertama, untuk menimbulkan rasa kesalehan dan mengamalkan ilmu (arts) seperti metode yang meyakinkan, yaitu bahwa murid harus mengakuinya sebagai miliknya dan mengamalkannya secara spontan. Kedua, seorang guru harus menggunakan metode pemaksaan yang ditujukan untuk mereka yang tidak merasa memilki perasaan sebagai penduduk dan mereka yang tidak memilki kesadaran terhadap keberadaan dirinya. 

DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen. Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am. Bandung: Mizan Utama, 2003.
Asmuni, Yusran. Dirasah Islamiyah II: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran, Cet. II. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Asqalani, Ahmad ibn Aly ibnu Hajar al. Fathul-Bari bi Syarh Shahih Bukhari. Bairut Daru‟l Maarif, tt.
Bakar, Osman. Hierarrki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu Menurut Al-Farabi, Al-Gazali, Quthb Al-Din Al-Syirazi. Bandung: Mizan, 1998.
Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat, Cet. V. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Dzulhadi, Qasim Nursheha. "Al-Farabi dan Sifat Kenabian". Vol. 12, No. 1. Maret 2014.
Farabi, Al. Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah. Beirut: Dar al-Fikr, 1959.
_______, Al. Ihsha’ul ‘Ulum. Beirut: Inmaul Qaumiy, tt.
_______, Al. Tahshilus Sa’adat, tahqiq Alibu Mulham. Beirut: Daar al-Hilal, 1995.
Hawa, Said.  Allah Jalla Jalaluhu, terj. Muhtadi Abdul Mun’im, Allah Swt. Jakarta, Gema Insani Press, 1998.
Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam. Tangerang Selatan: UIN Jakarta Press, 2003.
Kurdi, Rajih Abdul Hamid al. Nadzariyatul Ma’rifah Bayn al-Qur’an wa al-Falsafah, ( Saudi Arabia: Maktabah al-Muayyad, 1992.
_______, Mulyadhi. Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Jakara Pusat: Penerbit Baitul Ihsan, tt.
Majid, Muhammad Zuhdi Abdul. Tokoh-tokoh Kesarjanaan Sains Islam, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2003.
Maraghi, Ahmad Musthafa Al. Tafsir al-Maraghi, juz 3. Beirut: Darul Fikr, 1871.
_______, Ahmad Musthafa Al. Tafsir al-Maraghi, juz 5. Beirut: Darul Fikr, 1871.
M, Sjadzali. Islam dan Tata Negara. Jakarta: Ui-Press, 1993.
Nasr, Hossein. Leaman, Oliver. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam I, Terj. Tim Penerjemah Mizan Cet. I. Bandung: Mizan, 2003.
Rosen, Stanley. The Philosopher’s Handbook, Essential Readings From Plato to Kant, Random House Reference.
Setiawan, Agung. "Konsep Pendidikan Menurut Al-Gazali dan Al-Farabi (Studi Komparasi Pemikiran)", Tarbawiyah, Vol. 13, No. 1, Januari-Juni 2016.
Sholihin, Muhammad. Filsafat dan Metafisika dalam Islam. Yogyakarta: Narasi, 2008.
Sirajuddin, Zar. Filsafat Ilmu: Filosof  dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Syaibany, Omar Muhammad al-Toumy al. Falsafatut Tarbiya al-Islamiyah, terj. Hasan Langgulung, Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Thabari, Abu Ja'far Muhamad Ibnu Jarir Ath. Jami'u'l-bayan an Ta'wil al-Quran. Beirut: Darul-Fikr, 1988.
Tirtarahardja, Umar. dan Sulo, S.L. La. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, 2005.
Uliri, Daulasi. Al-Fikr al-‘Arabiy wa Makanuhu Fi al-Tarikh. Kairo: Alam al-Kutub, 1961.
Wiyono, M. "Pemikiran Filsafat Al-Farabi". Subtansia, Vol. 18, No. 1, April 2016, hlm. 68.

Wahyudin, Din dkk. Pengantar Pendidikan, cet.17. Jakarta: Universitas Terbuka, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar