Pendekatan Fungsional dalam Pembelajaran

Oleh Annisa’ Fatmayanti S. Hum dan Rahmawati S. Pd. I

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kegiatan belajar mengajar yang berlangsung telah terjadi interaksi. Interaksi yang bertujuan itu disebabkan gurulah yang memaknainya dengan menciptakan lingkungan yang bernilai edukatif demi kepentingan anak didik dalam belajar. Guru ingin memberikan layanan yang terbaik bagi anak didik, dengan menyediakan lingkungan yang menyenangkan dan mengairahkan. Guru berusaha menjadi pembimbing yang baik dengan peranan yang arif dan bijaksana, sehingga tercipta hubungan dua arah yang harmonis antara guru dengan anak didik.
Dalam mengajar, guru harus pandai menggunakan pendekatan secara arif dan bijaksana, bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik. Guru yang memandang anak didik sebagai pribadi yang berbeda dengan anak didik lainnya akan berbeda dengan guru yang memandang anak didik sebagai makhluk yang sama dan tidak ada perbedaan dalam segala hal. Sebaiknya guru memandang anak didik sebagai individu dengan segala perbedaan, sehingga mudah melakukan pendekatan dalam pembelajaran. Dalam makalah ini akan membahas mengenai pendekatan fungsional, segaimana pendekatan fungsional ini merupakan usaha memberikan materi pembelajaran yang menekankan kepada segi kemanfaatan bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkatan perkembangannya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Pendekatan Fungsional?
2.      Bagaimana Pendekatan Fungsional Menurut Para Ahli?
3.      Bagaimana Aplikasi Pendekatan Fungsional dalam Pembelajaran?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendekatan Fungsional
            Pendekatan fungsional adalah pendekatan yang dilakukan seorang pengajar terhadap siswa didik dengan mendayagunakan nilai guna dari suatu ilmu khususnya bahasa untuk kepentingan hidup siswa didik. Pendekatan ini juga merupakan metode yang dipergunakan untuk mencapai hasil dari pendekatan fungsional sendiri (pendekatan yang cenderung mempelajari atau mengajarkan bahasa berdasarkan fungsi bahasa tersebut). Pendekatan fungsional dapat juga diartikan sebagai usaha memberikan materi pembelajaran yang menekankan kepada segi kemanfaatan bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan tingkatan perkembangannya. Materi yang dipelajari oleh anak di sekolah bukanlah hanya sekedar melatih otak tetapi diharapkan berguna bagi kehidupan anak, baik dalam kehidupan individu maupun dalam kehidupan sosial. Dengan pendidikan anak-anak dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Dengan demikian, dengan pendekatan fungsional berarti anak dapat memanfaatkan pengetahuan yang diperoleh di lingkungan pendidikan dapat di amalkan dalam kehidupan sehari-hari, baik kehidupan individu maupun kehidupan masyarakat.
Aplikasi fungsionalisme dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pembelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori fungsionalisme memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Tujuan pembelajaran menurut fungsionalisme ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic”, yang menuntut pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau  materi pelajaran menekankan pada keterampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks atau buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks atau buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Kelebihan pendekatan fungsionalisme,diantaranya :
1.      Memperlakukan bahasa sebagai alat untuk menyampaikan dan memahami (transmit) maksud pertuturan.
2.      Pengguna bahasa diutamakan secara lisan dan kontekstual.
3.      Proses komunikasi akan berlangsung jika antarpenutur saling memahami makna tuturan berdasarkan konteks yang ada, yaitu melibatkan lokasi (where), waktu (when), dan kepada siapa tuturan ditujukan (whom).
4.      Selain itu, teori fungsional lebih berkaitan dengan faktor-faktor sosial daripada proses-proses psikologis yang rumit dalam bahasa. Dengan demikian, bahasa memiliki ketergantungan terhadap masyarakat penutur bahasa dan sama sekali bukan tergantung pada sistem yang terkandung di dalamnya.
Kekurangan pendekatan fungsionalisme,diantaranya :
1.      Keyakinan bahwa bahasa sekedar alat untuk berkomunikasi menggunakan fungsi-fungsi bahasa target, tidak bersifat universal, karena tidak mampu menembus sasaran bahasa isyarat yang diperlukan oleh orang tunarungu. Jenis bahasa ini tidak memerlukan penguasaan bunyi-bunyi bahasa (language sounds) danpengucapannya;
2.      Penggunaan bahasanya hanya terbatas untuk kepentingan berkomunkasi secara lisan (spoken language) bagi kalangan penutur level pemula;
3.      Bahasa tidak hanya memungkinkan seseorang untuk berkomunikasi, tetapi juga memiliki fungsi daya pikir (mental functions) yang sangat diperlukan untuk memahami sekaligus merefleksi dunia sekelilingnya. Oleh karena itu, kinerja pembelajarannya tidak sesuai dengan tuntunan pembelajaranbahasa mutakhir, yaitu penguasaan empat ketrampilan berbahasa;
4.      Penuturannya hanya terbatas pada kepentingan komunikasi lisan.

B.     Pendekatan Fungsional Menurut Para Ahli
Salah satu aliran psikologi yang berkembang dengan pesat setelah terbitnya ilmu psikologi oleh Wundt adalah aliran fungsional. Dua tokoh besar yang berdiri di balik aliran fungsional ini adalah John Dewey (1867–1949) dan William James (1842–1910). Salah satu hal mendasar yang menjadi titik acuan dari teori fungsional adalah bahwa semua proses psikologi pada manusia dilandasi oleh kesadaran yang senantiasa berinteraksi dengan pengalaman-pengalaman mereka. Kesadaran menjadikan manusia dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Hal lain yang juga menjadi prinsip dari teori fungsional adalah kesadaran tidak mungkin dipelajari dalam bagian-bagian yang parsial (terpisah) karena proses yang terjadi dalam kesadaran manusia terjadi secara kompleks dan berkesinambungan.
Kesadaran yang berkesinambungan (bersifat kontinu) bermakna bahwa berbagai peristiwa yang dialami oleh manusia membentuk dan memberi perubahan terhadap kesadaran secara utuh dan terus-menerus. Pengalaman-pengalaman tersebut tidak menjadi memori yang terpisah satu sama lain. Oleh karenanya menguraikan kesadaran menjadi bagian-bagian pengalaman menjadi tidak mungkin. Kesadaran menjadi perangkat utama dalam diri manusia untuk beradaptasi dengan lingkungannya, dan demikian pula sebaliknya interaksi dengan lingkungan menjadi bahan-bahan untuk kedewasaan kesadaran itu sendiri.
JOHN DEWEY
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Proses belajar mengajar merupakan rangkaian kegiatan komunikasi antara manusia yakni orang yang belajar (siswa) dan orang yang mengajar (guru). Dalam belajar ada komponen-komponen itu antara lain: tujuan belajar, materi pelajaran, metode mengajar, sumber belajar, media untuk belajar, manajemen interaksi belajar mengajar, evaluasi belajar, anak yang belajar, guru yang mengajar dan pengembangan dalam proses belajar.
Kegiatan pembelajaran dikelas adalah inti penyelenggaraan pendidikan yang ditandai oleh adanya kegiatan pengelolaan kelas, penggunaan media dan sumber belajar, serta penggunaan metode dan strategi pembelajaran. Namun kesemuanya itu juga akan terwujud apabila partisipasi dari berbagai aspek juga didukung, terutama tingkat keragaman peserta didik yang dapat dibilang cukup heterogen. Implementasi sifat heterogen tersebut juga dipengaruhi oleh kemampuan daya serap informasi yang diterima oleh peserta didik. Satu hal yang menarik tingkat keragaman dan cara menerima informasi, mesti menjadi tolak ukur dalam mentrasfer pengetahuan.
Sejalan dengan tingkat keragaman dalam belajar, mendorong banyak kalangan untuk mempelajari berbagai bentuk kemampuan manusia untuk menyerap suatu informasi. Hal ini yang kemudian menyebabkan bermunculan berbagai teori belajar berdasarkan kondisi yang dipahami oleh sipemikir tersebut. Dalam upaya menghindari kesalahan penafsiran dan mencari khazanah informasi dan pengetahuan tentang teori belajar guna menyiapkan tenaga pendidik yang lebih profesional.
Perspektif Mikro dan Makro dalam Proses Belajar Menurut John Dewey
Belajar merupakan proses kompleks yang secara natural memang melekat dalam diri manusia. Dewey menjelaskan secara lebih khusus proses belajar manusia melalui dua perspektif yaitu perspektif mikro (dalam diri) dan makro (interaksi dengan lingkungan luar).
Perspektif Mikro
Karakter dasar anak adalah aktif, oleh karenanya Dewey meyakini bahwa belajar pada diri seorang anak adalah suatu kepastian. Dalam diri mereka terdapat suatu dorongan kuat dan alami untuk mengenal, merasakan dan melakukan berbagai macam hal. Dewey (dalam Simpson dan Liu, 2007) menyatakan bahwa terdapat tiga serangkaian yang tak terpisahkan dalam diri anak yang menyebabkan diri mereka aktif  belajar yaitu mind, sensation and movement (pikiran, sensasi dan gerak). Ketiga hal tersebut berpadu mewujudkan diri anak yang aktif dan ingin melakukan banyak hal.
Dalam waktu yang cepat, proses berpikir dan memilih segera mengarahkan tubuh mereka untuk bergerak. Berbeda dengan orang dewasa yang lama dalam menentukan pilihan dan memikirkan sesuatu, anak-anak berpikir dan memilih dengan sangat cepat seolah berlomba dengan otot-otot tubuh mereka yang cepat sekali tumbuh. Dewey (1902) menegaskan bahwa dunia bagi anak-anak adalah segala sesuatu yang menarik hati mereka, bukan fakta-fakta obyektif. Mereka mengenali dan mempelajari semua hal melalui sentuhan dan interaksi langsung.
Anak selalu aktif bermain sambil belajar. Berbeda dengan orang dewasa yang belajar melakukan sesuatu (dimulai dengan teori) sebelum melakukan hal tersebut pada kondisi yang sesungguhnya, anak-anak umumnya langsung belajar dengan melakukan pada kondisi yang sesungguhnya. Namun Dewey (dalam Simpson dan Liu, 2007) tetap menekankan pentingnya peran orang tua atau pendidik, karena keaktifan anak untuk bermain dan belajar tidak otomatis mengarahkan mereka pada proses belajar yang baik, bahkan karakter belajar dengan melakukan (learning by doing) seringkali dapat membahayakan. Para pendidik diperlukan untuk memberikan tuntunan pada anak untuk memilih aktivitas yang edukatif dan tidak berbahaya.
Perspektif Makro
Belajar dari perspektif mikro menurut Dewey merupakan wujud dari aktifnya tiga serangkai dalam diri anak yaitu pikiran, sensasi dan gerakan. Lebih lanjut belajar juga merupakan proses sosial, dimana anak akan berinteraksi dengan berbagai aspek lingkungan eksternalnya. Interaksi anak dengan dunia eksternal menurut Dewey (dalam Simpson dan Liu, 2007) terjadi dalam pola sebagai berikut:
Dorongan insting anak untuk berinteraksi dengan lingkungan luar akan segera membuat mereka melakukan action dengan cepat. Seringkali ketika melakukan aktivitas tersebut mereka menemui hambatan sehingga membuat suasana menjadi menegangkan dan terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium) dalam diri mereka, baik pikiran maupun perasaan. Selanjutnya mereka akan menjalani suatu proses pemecahan masalah dan penyesuaian diri dengan hambatan yang ada di lingkungan tersebut. Jika proses tersebut berhasil maka anak akan mengalami harmonisasi diri dan penguatan keseimbangan personal (personal equilibrium). Contoh :
Sederhana dari proses di atas adalah pada seorang anak yang mendapatkan mainan baru berupa sepeda. Tentu dalam diri anak terdapat dorongan kuat untuk memakai dan bermain dengan sepeda barunya. Namun hambatan terjadi ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa ia belum bisa menggunakan sepeda tersebut. Terjadilah ketidakseimbangan dalam dirinya (stress dan kecewa), yang akan mengarahkannya untuk melakukan berbagai alternatif seperti menangis pada ibunya untuk membantu menggunakan sepeda atau mencoba-coba sendiri sepeda tersebut. Berbagai alternatif dapat dipilih oleh anak untuk menyelesaikan masalah tergantung pada kebiasaannya. Namun perlahan-lahan mereka akan belajar menggunakan sepeda tersebut sampai bisa. Pada saat itulah mereka akan mendapatkan kembali keseimbangan personal.
Belajar dalam perspektif mikro dan makro merupakan proses yang saling terkait, saling mempengaruhi dan tidak terpisahkan. Secara bertahap aktivitas dan lingkungan tempat belajar mereka akan semakin kompleks dan luas.
WILLIAM JAMES
Tokoh berikutnya dalam aliran fungsional adalah ahli psikologi dan filsuf Amerika Serikat William James. James menekankan betapa pentingnya para guru untuk mempelajari dan memahami kebutuhan dan minat para siswanya. Dengan memahami keduanya maka menurut James akan lebih mudah mengarahkan siswa untuk mengembangkan perilaku yang baik. Belajar akan lebih efektif jika anak ditempatkan dalam lingkungan yang memberi mereka kebebasan dan motif yang kuat (Pajares, 2009). James menentang peradigma lama yang memperlakukan siswa sebagai pikiran kosong yang harus diisi oleh guru. James memiliki keyakinan bahwa manusia, terutama pikiran dan perasaannya, adalah bersifat aktif serta mengalami perkembangan kompleks dengan perbagai aspek seperti pikiran, perasaan, motif, kekuatan dan juga resistensi yang unik pada tiap individu (Barzun, 2005).
Kesadaran (Conciousness) dalam Proses Belajar
Belajar merupakan proses yang meliputi perubahan terutama aspek-aspek internal manusia. James menggunakan kata kesadaran (conciousness) untuk menyebutkan berbagai aspek internal seperti pikiran, perasaan, motif, kemauan dan juga resistensi dalam diri manusia. Kesadaran siswa, menurut William james (1925), merupakan hal utama yang harus benar-benar diperhatikan guru ketika mengajar. Menurutnya kesadaran inilah yang akan mengarahkan manusia pada dua hal yang sangat penting yaitu pengetahuan dan tindakan (action).
Pengetahuan dan tindakan merupakan dua aspek yang membedakan manusia dari makhluk hidup yang lain. Tindakan yang didasari oleh pengetahuan akan menjadi suatu perilaku (behavior) dan jika terjadi secara permanen kita kenal dengan kebiasaan (habit). William James menyatakan bahwa tugas utama para guru adalah melatih perilaku dan kebiasaan (habit) siswa-siswanya dalam arti yang luas. Karena perilaku tidak dapat dibentuk secara tidak sadar (tanpa pengetahuan) maka secara tidak langsung guru harus memulai tugas-tugasnya dengan mengarahkan kesadaran para siswanya melalui pemrosesan berbagai pengetahuan yang sesuai dan terorganisir dengan baik.
Pengetahuan yang dimaksud oleh James (1925) bukan hanya merupakan sekumpulan informasi atau teori yang dihafal oleh siswa. Pembelajaran pada masa tersebut memang masih banyak dilakukan dengan cara membuat siswa menghafal berbagai teori dan ajaran-ajaran tertentu dengan harapan hafalan tersebut akan diaktualisasikan dalam perilaku siswa di kemudian hari. Namun James tidak setuju dengan metode tersebut, ia berpendapat bahwa pengetahuan yang benar-benar akan menjadi bahan dasar dari kesadaran manusia adalah pengetahuan yang dipahami. Pemahaman akan didapatkan oleh siswa melalui aktivitas yang nyata dan menuntut siswa untuk menggunakan pikirannya secara sadar dalam melakukan berbagai aktivitas.
C.    Aplikasi Pendekatan Fungsionalisme dalam Pembelajaran Bahasa Arab
            Pendekatan fungsionalisme adalah pendekatan yang menekankan pada kemanfaatan yang sedang diajarkan kepada peserta didik. Metode yang digunakan seperti demonstrasi dan eksperimen dengan menggunakan teknik atau strategi.
Metode demonstrasi adalah cara penyajian materi pelajaran dengan meragakan atau mempertunjukkan kepada peserta didik suatu proses, keadaan atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik yang sebenarnya ataupun tiruan, yang sering disertai penjelasan lisan.
Penggunaan metode demonstrasi mempunyai tujuan agar peserta didik mampu memahami tentang cara mengatur, membuat, menyusun sesuatu dan cara bekerjanya.
Kelebihan metode demonstrasi
1.      Peserta didik mudah memahami apa yang dipelajari
2.      Proses pembelajaran lebih menarik
3.      Dapat membuat pengajaran menjadi lebih jelas dan lebih konkret, sehingga menghindari verbalisme (pemahaman secara kata-kata atau kalimat)
4.      Peserta didik dirangsang untuk aktif mengamati, menyesuaikan antara teori dengan kenyataan, dan mencoba melakukannya sendiri.
Kekurangan metode demonstrasi
1.      Metode ini memerlukan ketrampilan guru secara khusus, karena tanpa ditunjang dengan hal itu, pelaksanaan demonstrasi akan tidak efektif.
2.      Fasilitas seperti peralatan, tempat, dan biaya yang memadai tidak selalu tersedia dengan baik.
3.      Demostrasi memerlukan kesiapan dan perencanaan yang matang disamping memerlukan waktu yang cukup panjang, yang mungkin terpaksa mengambil waktu atau jam pelajaran lain.
Setelah melihat beberapa keuntungan dari metode demonstrasi, maka dalam bidang studi bahasa arab, banyak yang dapat didemonstrasikan, terutama dalam mencapai fungsi-fungsi bahasa yaitu:
1.      Sebagai alat mengekspresikan diri,
Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran tepat, yakni ayah dan ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Pada taraf permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian berkembang sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri. Bahasa merupakan sarana untuk mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam diri seseorang, baik berbentuk perasaan, pikiran, gagasan, dan keinginan yang dimilikinya. Begitu juga digunakan untuk menyatakan dan memperkenalkan keberadaan diri seseorang kepada orang lain berbagai tempat dan situasi.
2.      Sebagai alat berkomunikasi,
Bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita. Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita. Melaui bahasa, manusia dapat berhubungan dan berinteraksi dengan alam sekitanya terutama sesama manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam berkomunikasi tentu harus memperhatikan dan menerapkan berbahai etika sehingga terwujud masyarakat yang madani selamat dunia dan akhirat. Bahasa sebagai alat komunikasi berpotensi untuk dijadikan sebagai sarana untuk mencapai suatu keberhasilan dan kesuksesan hidup manusia, baik sebagai insan akademis maupun sebagai warga masyarakat. Penggunaan bahasa yang tepat menjadikan seseorang dalam memperlancar segala urusan. Melalui bahasa yang baik, maka lawan komunikasi dapat memberikan respon yang positif. Akhirnya, dapat dipahami apa maksud dan tujuannya.
3.      Sebagai alat berintegrasi dan beradaptasi sosial,
Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda kepada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati. Dalam mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Jangan sampai kita salah menggunakan tata cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.
4.      Sebagai alat kontrol sosial.
Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.
Ceramah agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai kontrol sosial. Orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol sosial, kita juga sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikapbaru, perilaku dan tindakan yang baik. Disamping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai suatu hal. Contoh lain yang menggambarkan fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang.

Dalam hal ini kami mengambil salah satu contoh tema pembelajaran bahasa arab menggunakan pendekatan fungsional yaitu tentang sawah ((مزرعة. Dalam penyajian materi, pelaksaan pembelajarannya dilakukan langsung di luar kelas sesuai dengan tema. Hal ini bertujuan agar siswa dapat berinteraksi langsung dengan tema yang dipelajari. Misalnya: setelah melihat objek secara langsung, guru mengintruksikan kepada siswa untuk menulis mufradat yang ia ketahui sebanyak mungkin yang berkaitan dengan apa yang dilihatnya di sawah. Kemudian siswa diarahkan untuk mengumpulkan mufradat yang ia tulis sebelumya, lalu guru memilih salah satu dari mufradat yang sudah ditulis oleh siswa dan kemudian guru memerintahkan siswa untuk membuat suatu karangan singkat berbahasa arab mengenai mufradat yang dipilih tadi sesuai apa yang dipikirkan siswa. Sehingga siswa dapat mengekspresikan apa yang dilihat dan dipikirkannya dalam bentuk tulisan.
Kemudian guru memerintahkan kepada siswa untuk mendiskusikan hasil karangan yang ditulisnya dengan teman bahkan dapat pula mendiskusikan langsung kepada petani mengenai hal-hal yang telah diketahuinya di sawah tersebut. Dalam berinteraksi dengan teman maupun petani, siswa diharapkan dapat memilih dan memilah  bahasa yang baik dan sesuai dengan tingkatan usia lawan bicara. Setelah semua terlaksana, guru mengarahkan siswa untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dengan teman-temannya mengenai hal-hal baru yang ia dapatkan di sawah tersebut.

KESIMPULAN
Pendekatan fungsional adalah pendekatan yang dilakukan seorang pengajar terhadap siswa didik dengan mendayagunakan nilai guna dari suatu ilmu khususnya bahasa untuk kepentingan hidup siswa didik. Pendekatan ini juga merupakan metode yang dipergunakan untuk mencapai hasil dari pendekatan fungsional sendiri (pendekatan yang cenderung mempelajari atau mengajarkan bahasa berdasarkan fungsi bahasa tersebut).
Untuk mencapai tujuan pembelajaran dari pendekatan fungsional ini, kita harus mengetahui fungsi-fungsi dari bahasa itu sendiri, yaitu:
1.      Sebagai alat mengekspresikan diri,
2.      Sebagai alat berkomunikasi,
3.      Sebagai alat berintegrasi dan beradaptasi sosial,
4.      Sebagai alat kontrol sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Renika Cipta.
Daleh, H. Schunk. 2012. Learning theories an educational perspective, Ed. VI. Terj. Eva Hamidah dan Rahmat Fajar, Teori-teori pembelajaran: perspektif pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pajar.
Finoza, Lamuddin. 2005. Komposisi Bahasa Indonesia

Keraf, Gorys. 1997. Komposisi: Sebuah Pengentar Kemahiran Bahasa. Flores: Nusa Indah.


LINK DOWNLOAD 

1 komentar: