1.
Latar Belakang Masalah
Sunnah
merupakan penafsiran al-Qur’an dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara
faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi merupakan perwujudan
dari al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, secara ajaran Islam yang
dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Nabi Muhammad
diutus oleh Allah untuk semua umat manusia dan sebagai rahmat bagi seluruh
alam. Itu berarti kehadiran Nabi Muhammad membawa kebajikan dan rahmat bagi
semua umat manusia dalam segala waktu dan tempat.
Dilihat dari
wujud ajaran Islam itu sendiri, Rasulullah merupakan tokoh sentral yang sangat
dibutuhkan, bukan sekedar membawa risalah ilahiyyah dalam menyampaikan ajaran
islam yang terkandung di dalamnya saja, lebih dari itu beliau sangat dibutuhkan
sebagai tokoh satu-satunya yang dipercaya oleh Allah untuk menjelaskan, merinci
atau memberi contoh pelaksanaan ajaran Islam. Itulah tugas rasul yang di
bebeankan Allah kepada beliau. Oleh karena itu, semua yang berasal atau
bersumber dari Rasulullah itu dianggap sebagai dalil syari’ah dan sumber ajaran
Islam yang pokok di bawah al-Qur’an yang wajib dipercayai, ditaati dan
diamalkan.
Sebenarnya
upaya ini telah banyak dilakukan oleh ulama-ulama mutakhirin, dengan usaha
pengklasifikasian terhadap sunnah seperti Imam Qarafi, Syah wali Allah
al-Dihlawi, Mahmud Syaltut, Muhammad al-Ghazali. Namun pada kesempatan kali
ini, penulis akan memaparkan mengenai pemikiiran Syah wali Allah al-Dihlawi
dalam karyanya Hujjah Allah al-Balighah yang telah mengklasifikasikan sunnah
risalah dan ghairu risallah.
2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pemikiran Syah wali Allah al-Dihlawi mengenai sunnah
risallah dan ghairu risalah?
A.
Biografi Syah Wali Allah al-Dihlawi
Syah wali Allah
al-Dihlawi merupakan seorang intelektual muslim abad ke-18 yang lahir dan
dibesarkan di India. Ia dikenal sebagai penulis produktif yang menulis dalam
bahasa Arab dan persia. Beliau lahir pada hari rabu tanggal 4 Syawal 1214 H
atau 21 Februari 1703 M. Ia anak pertama dari perkawinan ayahnya yang kedua
ketika ayahnya sudah berusia enam puluh tahun. Ayahnya dan sekaligus pembimbing
spiritual, Syah ‘Abd al-Rahim (w. 1719), adalah orang yang sangat terpelajar
dan pengamal tarekat Naqsabandiyah, Chistiyah, dan Tarekat Qadariyah. Ayahnya,
selain mengepapalai madrasah miliknya sendiri dan mengajar di sebuah akademi di
Delhi, juga merupakan ulama yang terkenal. Selain itu Syah ‘Abd al-Rahim juga
sebagai tim penyusun fatwa alamgiri, yang dalam kepustakaan fiqih lebih dikenal
dengan Fatawi Hindiyah sebuah kodifikasi yurispudensi islam berdasarkan atas
madzhab hanafi. Kodifikasi ini dilakukan atas perintah raja Aurangzeb Bahadur
Alamgiri (1028-1118 / 1618-1707 M).
Syah ‘Abd
al-Rahim memutuskan menikah lagi, ketika usianya hampir genap 60 tahun, setelah
ia mendapat isyarat mistis bahwa ia akan mendapatkan seorang anak yang akan
mencapai tingkatan mistik yang lebih tinggi. Salah seorang muridnya, Syaikh
Muhammad dari Phulat, mempersembahkan anak perempuannya kepada gurunya itu.
Ketika dikecam oleh beberapa orang karena perkawinannya di usia senja ini, Syab
‘Abd al-Rahim mengungkapkan bahwa ia tahu jika dirinya akan mempunyai lebih
dari seorang anak. Dan pada kenyataannya beliau masih hidup sampai Syah Wali Allah
al-Dihlawi berusia tujuh belas tahun dan mendapatkan eorang anak laki-laki yang
ia namai Ahlullah.
Syah Wali Allah
al-Dihlawi nama lengkapnya adalah Qutb al-Din Ahmad ibn al-Syah ‘Abd al-Rahim
ibn Wajih al-Din al-syahid ibn Mu’azzam ibn Mansur ibn Ahmad ibn Manhudbbibn
Qiwam al-Din. Leluhur Syah Wali Allah al-Dihlawi tinggal di kota Rohtak, dekat
Delhi, pada abad ke-13 segera sesudah penaklukan Delhi. Dari pihak ayahnya,
silsilah keturunannya sampai pada Khalifah ‘Umar ibn al-Khatab, sedangkan dari pihak
ibunya sampai kepada Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Berdasarkan kenyataan ini,
beberapa penulis mencantumkan kata al-‘Umri al-Faruqi di belakang namanya.
Gelar Syah di
depan namanya lazim diberikan kepada anggota sebagian keluarga terhormat.
Adapun gelar Syah Wali Allah al-Dihlawi
dan Qutb al-Din, terdapat suatu riwayat yang menarik. ‘Abd al-Mun’im al-Namir
menentukan bahwa Syah ‘Abd al-Rahim berulang kali menerima pemberitahuan gaib
lewat mimpi tentang akan dilahirkannya seorang putera yang saleh untuknya.
Pemberitahuan serupa diterimanya pula dari kalangan awaliyah’. Di antara para
awliyah itu, tersebut nama Qutb al-Din bakhtiyar Ka’ki sebagai wali yang
menonjol. Ia meminta kepada Syah ‘Abd al-Rahim agar nama sang wali diberikan
kepada puteranya yang akan lahir nanti. Pemintaan itu dipenuhi, dan bayi yang
lahirpun diberi nama Qutb al-Din yang kelak kemudian hari lebih dikenal dengan
sebutan Wali Allah. Syah Wali Allah al-Dahlawi dilahirkan di Delhi atau Dehli,
sehingga dibelakang namanya tercantum sebutan al-Dihlawi.
Pada usia lima
tahun, ia masuk pendidikan dasar, dan pada usia tujuh tahun ia mulai
mengajarkan salat dan piasa, dan untuk pertama kalinya mengkhatamkan al-Qur’an.
Pada usia itu ia sudah mampu membaca risalah-risalah berbahasa persia, dan
ketika berusia sepuluh tahun ia sudah mampu membaca dan belajar secara mendiri.
Dengan ayahnya Syah Wali Allah muda mempelajari buku-buku hadis seperti Misykat
al-Mashabih dan Shaih al-Bukhari, buku-buku mengenai tafsir, fiqih, dan
teologi. Di samping itu, ia diperkenalkan kepada buku-buku tasawuf karya
beberapa sufi madzhab Wahdatul Wujud Ibn ‘Arabi, seperti ‘Abd al-Rahman jami’
(1492) dan Fakhruddin ‘Iraqi (1289). Di samping masalah-masalah keagamaan ia
juga mempelajari astronomi, matematika, bahasa, serta tata bahasa Arab dan
persia. Begitu pula ilmu kedokteran yang kelak banyak mewarnai karya-karya.
Syah Wali Allah
menikah ketika berusia 14 tahun dengan anak perempuan dari pihak ibunya.
Pernikahan ini atas desakan ayahnya karena ada bebrapa alasan rahasia mengapa
ia harus segera menikah. Beberapa saat setelah pernikahannya itu, banyak
anggota keluarganya yang meninggal dunia secara berturut-berturut yang
seandainya ia belum menikah, sangat mungkin menyebabkan ditundanya pernikahan
itu untuk untuk jangka waktu yang cukup lama, atau bahkan mungkin dibatalkan.
Ketika usia
Syah Wali Allah genap 15 tahun ayahnya menerimanya sebagai murid dalam tarekat
Naqsabandiyah dan ia mulai mempraktikan amalan-amalan tarekat itu Menjelang
waafatnya, Syah ‘Abd al-Rahim mengizinkan anaknya untuk menasbihkan orang lain
dalam tarekat mereka dan memberikan bimbingan spiritual kepada mereka. Selama
dua belas tahun setelah ayahnya meninggal dunia pada tahun 1719 Syah Wali Allah
mengajar dan mempelajari berbagai ilmu agama dan terus menjalani kehidupan
meditatif. Kemudian, sekitar April 1731 M/ 1143 H, ia meninggalkan India untuk
menjalani ibadah haji ke Makkah dan Madinah, kenudian menetap dikota itu
sekitar empat belas bulan, dan pulang ke
India pada Desember 1732 M.
Dalam kaitannya
dengan perjalanan Syah Wali Allah ke Hijaz, umumnya para penulis menyebut
kemauan memperluas ilmu pengetahuan sebagai motivasi utama di samping
menunaikan ibadah haji. Akan tetapi M. Mujeeb mengajukan kemungkinan yang lain,
yakni kepergian itu didorong oleh keinginan menghindarkan diri dari reaksi yang
begitu keras dari para ulama’ konservatif india di masanya. Reaksi ini muncul
setelah syah wali allah memberanikan diri melakukan penterjemahan al-Qur’an ke
dalam bahasa persia, suatu langkah yang dianggap terlarang pada masa itu.
B.
Pemikiran Syah Wali Allah al-Dihlawi tentang Klasifikasi Sunnah.
Sayah Wali
Allah menjelaskan dalam kitab “Hujjah Allah al-Balighah”, bahwa sunnah yang
telah diriwayatkan dari Nabi dan yang telah terkodifikasi dalam beberapa kitab
hadis, itu terbagi menjadi dua. Pertama : Sunnah yang disampaikan sebagai
Risalah. Beliau juga menjelaskan kriteria riwayat yang termasuk dalam kategori
pertama ini:, yaitu:
a.
Ilmu mengenai akhirat dan keajaiban-keajaiban realitas malaikat,
yang semuanya didasarkan atas wahyu yang diturunkan oleh Allah.
b.
Syari’at-syari’at ilahi serta penentuan macam-macam Ibadah dan
sarana pendukung peradaban (muamalah). Sebagian ilmu ini berasal dari wahyu,
dan sebagian lainnya merupakan hasil ijtihad Nabi saw, yang setingkat dengan
wahyu, namun terkadang Allah mengajarinya dengan maksud-maksud yang terdapat di
balik syari’at ilahi (maqasid al-syar’i), perinsip hukum pensyariatan (qanun
al-tasyri), kemudahan (al-tasyir) dalam hukum, dan ketentuan lain yang
meliputinya. Kemudian Nabi menjelaskan kepada umatnya maksud-maksud yang telah
ia pelajari dari wahyu berdasarkan prinsip ini.
c.
Hikmah mursalah dan masalih mutlaqah yang Nabi saw tidak
menetapkannya untuk wahyu tertentu, tidak pula menentukan batas-batasanya.
Contohnya adalah penjelasan Nabi tentang akhlak yang baik dan yang buruk.
Ketetapan tentang hal ini biasanya tergantung kepada ijtihad Nabi, dalam arti
bahwa Allah swt, mewahyukan prinsip-prinsip pendukung peradaban kepada Nabi,
kemudian dari prinsip-prinsip itu Nabi mengambil alasan yang mendasari (hikmah)
satu hukum menjadikannya sebagai prinsip umum.
d.
Keutamaan berbagai perbuatan dan sifat-sifat istimewa yang dimiliki
oleh orang-orang yang melakukan kebajikan. Di mana menurut Syah Wali Allah,
ilmu ini sebagian didasarkan atas wahyu dan sebagian lainnya didasarkan atas
ijtihad.
وماءاتكم الرسول
فخذوه وما نهكم عنه فنتهوا
“apa yang diberikan Nabi kapadamu maka
ambillah, dan apa yang ia larang maka jauhilah” QS. Al-Hasyr ayat 7.
kedua: Sunnah
yang disampaikan bukan dalam kapasitas Nabi sebagai penyampai risalah. Riwayat
yang termasuk kategori jenis ilmu ini adalah:
a.
Ilmu menganai obat-obatan.
b.
Ilmu mengenai pengalaman.
c.
Segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi saw, sebagai kegiatan sehari-hari,
bukan sebagai ritual keagamaan. Juga berbagai hal lain yang bersifat
insidental, dan tidak dilakukan dengan sengaja.
d.
Masalaj juz’iyah
Dalam
hal ini Syah wali Allah ingin menjelaskan bahwa terkadang sunnah itu hanya
untuk kemaslahatan tertentu (maslahah juziyah) pada waktu tertentu, bukan
sebagai kewajiban atas umat, sama halnya seperti seorang khalifah yang
memberikan perintah untuk mengarahkan pasukan dan menegakkan panji.
Selanjutnya
mengenai klasifikasi sunnah yang dilakukan Syah Wali Allah perlu dicermati
lebih lanjut, klasifikasi ini umumnya didasarkan atas pemisahan Muhammad
sebagai penyampai risalah dan Muhammad bukan sebagai penyampai risalah.
Pembedaan antara kebiasaan dan preferensi pribadi Rasulullah dari tindakan yang
terkait dengan misi rasul ini akhirnya muncul pembedaan antara preseden yang
mengikat dan tidak mengikat. Pertama, disebut al-sunnah al-‘adiyah, sunnah yang
tidak memiliki kontruksi hukum. Kedua, dikategorikan sebagai al-sunnah al-huda
yang secara hukum dapat dilaksanakan.
Di sini
penyusun mencoba untuk mendefinisikan sunnah yang disampaikan Muhammad sebagai
penyampai risalah dalam istilah Syah Wali Allah, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berasal dari wahyu maupun ijtihad
Nabi sendiri yang berkaitan dengan misi rasul, dan yang mengandung implikasi
hukum yang wajib. Sedangkan sunnah yang disampaikan bukan dalam kapasitasnya
sebagai penyampai risalah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi,
yang pengamalannya bisa dijalankan, ataupun bisa ditinggalkan,. Selain itu,
sunnah tersirat hanya sebagai perkataan atau perbuatan Nabi yang sebagai
kebiasaan, pengalaman, atau kebetulan, dan juga bisa pula sebagai pernyataan
Nabi mengenai sesuatu yang secara khusus baik untuk dilakukan pada masanya dan
tidak dimaksudkan untuk berlaku bagi seluruh umat, atau bisa dikategorikan
bahwa berasal dari wahyu.
C.
Signifikansi dan Kontribusi Pemikiran Syah Wali Allah Allah
Menganai Klasifikasi Sunnah dalam Pemahaman Sunnah.
Dengan melihat
realitas pengkajian sunnah dalam kenyatannya yang lebih bersifat sanad oriented
dan terkadang hanya berputar sekitar laporan periwayat yang dilansir buku-buku.
Maka Syah Wali Allah mencoba memberikan warna dan alternatif lain dalam rangka
memahami ajaran rasul yang lebih bersifat matan oriented dengan melakukan
klasifikasi sunnah.
Tawaran Syah
Wali Allah al-Dihlawi tentang klasifikasi sunnah ini, sedikit banyak juga
memberikan imlikasi langsung terhadap pemahaman sunnah. Selama ini umat islam
terbagi menjadi beberapa golongan dalam memahami sunnah, diantaranya:
Pertama, varian
yang ingin menjadikan seluruh sunnah yang diriwayatkan sebagai hukum yang harus
diikuti oleh manusia di seluruh masa, tempat, dan kondisi, meskipun dari sunnah
itu ada yang timbul dari tindakan pribadi semata, dari adat istiadat, dari
pengalaman, atau yang timbul karena persetujuan saja, tidak dengan tujuan
tertentu, terutama perbuatan biasa yang dilakukan Rasulullah saw.
D.
Contoh Hadis Mengenai Kepemimpinan Rasulullah
Dalam hal ini
penulis ingin memaparkan mengnai contoh hadis tentang kedudukan Rasulullah saw apakah sebagai pembawa
risallah atau sebagai manusia biasa. Disini penulis akan mengambil tema
mengenai kedudukan Rasul pada saat menjadi panglima perang.
Rasulullah saw
adalah pemimpinan orang-orang Islam, baik sebagai seorang politik maupun
sebagai militer. Beliau mengatur mereka dari suatu kemenangan ke lain
kemenangan. Kemampuan orang-orang islam membebaskan daerah-daerh lain tidak
lepas dari ketaatan dan ketundukan mereka kepada beliau.
Meskipun
aktivitas politik dan aktivitas militer saling terkait, tapi masing-masing
memiliki pembicaraan yang terpisah. Maka dalam sub pembahasan ini kita akan
membaginya menjadi dua bagian. Pertama kita akan berbicara mengenai Rasulullah
SAW sebagai figur seorang politikus, dan kedua sebagai seorang militer. Agar
kita dapat mengetahui bagaimana Rasulullah selalu berada di puncak, yang tak
seorang pun dapat mengunggulinya. Padahal beliau adalah seorang buta huruf,
tidak bisa membaca menulis. Semua ini membuktikan permasalahan yang tidak lepas
dari tuhan, sejak awal hingga akhir.
Gambaran perang
seakan-akan suatu tindakan bengis dan kejam. Pengarang-pengarang barat
seringkali mengatakan bahwa nabi adalah seorang yang bengis dan kejam. Tuduhan
ini betul-betul tidak masuk akal dan hanya lantaran mereka tidak mengetahui
bahwa agama tidak menyisihkan dunia sama sekali seperti kristen atau
mengintegrasikan kehidupan ke dalamnya, dan dengan sendirinya menghadapi
persoalan kehidupan seperti perang, pajak, keadilan dan sebagainya. Dilihat
dari sudut pandangan individual, Charlemagne adalah seorang raja yang kejam. Ia
telah memimpin berbagai peperangan yang banyak memakan korban, Hal ini juga
berlaku pada seorang raja Buddha ataupun otorita religius lain yang ingin mengintegrasikan
agama dengan kehidupan dunia.
Nabi melakukan
segala kebaikan yang mungkin dilakukan dan hanya bersikap bengis terhadap
pengkhianat. Pengkhianat terhadap komunitas agama baru, yang diciptakan dengan
kehendaknya dan merupakan anugrah nya bagi dunia, adalah pengkhianat kebenaran.
Dalam hal ini, kebengisan Nabi adalah ekspresi dari keadilannya. Orang tidak
bisa mengutuk tuhan hanya karena adanya kematian, kesakitan, kelaparan dan
berbagai keburukan lain dalam kehidupan. Penghancuran selalu mandahului
pembangunan kembali untuk memberi tempat kepada bentuk baru.ini tidak hanya
berlaku kepada struktur fisis, tetapi juga berlaku pada agama, tata masyarakat
dan politik. Apa yang tampak sebagai kekejaman Nabi, sebenarnya hanyalah aspek
dari fungsinya sebagai alat tuhan untuk menciptakan dunia baru.
Menurut
sejarah, bahwa nabi telah memimpin perang dua puluh delapan kali tujuh tahun
setelah hijrah ke Madinah, dan tentara ekspedisi yang beliau kirimkan, perang
Waddan dan bulan Shafar tahun 2 Hijriah adalah perang yang pertama kali
dipimpin langsung oleh Nabi, sementara perang Tabuk adalah perang terakhir di
bawah pimpinan beliau pada bulan rajab tahun 8 Hijriah.
Di bawah
pimpinan Nabi telah berkecamuk perang antara kaum Muslimin dengan orang musyrik
dan Yahudi sembilan kali, yaitu perang : Badar, Uhud, Khandak, Quraidhan dan
Mushthalaq, Fath Makkah,Hunain dan Thaif, sementara sembilan belas kail kaum
musyrik lari lintang pukang tanpa terjadinya pertempuran. Dalam perang yang
sebanyak itu di bawah pimpinan Nabi langsung tidak pernah gagal, hatta dalam
perang Uhud sekalipun kaum Muslimin tidak kalah ditinjau dari segi pandangan
militer.
Ada dua
kelebihan Nabi sebagai panglima perang dibanding dengan jendral mana pun di
segala jaman dan tempat, yaitu:
I.
Sesungguhnya Rasul adalah seorang Jendral yang sangat percaya
kepada diri sendiri.
II.
Perjuangannya adalah untuk membela da’wah dan untuk melindungi
kemerdekaan penyiaran islam serta untuk mengukuhkan sendiri asas perdamaian;
bukan untuk menimbiulkan permusuhan dan bukan pula untuk penjajahan.
Adapun contoh
kasus mengenai kategori sunnah yang kedua adalah sebagai kategori manusia
biasa, yang mana Rasul adalah manusia biasa yang mempunyai kekurangan. Yang
kapasitasnya adalah sebagai mahluk ciptaan tuhan yang mempunyai banyak
kekurangan.
Manusia
diciptakan Allah swt dari unsur yang tidak berbeda satu dengan yang lainnya. Di
dalam kitab suci Al-Qur’an tidak sedikit firman-nya yang menerangkan tentang
proses penciptaan manusia. Dari firman-firman itu tidak seorang pun makhluk
yang berpredikat manusia itu, yang dapat mengatakan bahwa kejadiannya lebih
baik atau lebih mulia dari orang yang lain.
Allah berfirman
di dalam surat al-Isra’ ayat 70 yang menyatakan sebagai berikut:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي
الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى
كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا
“ dan
sesungguhnya kami telah muliakan umat manusia dengan memberi mereka sarana
tumpangan di daratan dan lautan,memberi mereka rezeki yang naik-baik dan kami
lebih utamakan mereka dari kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan dengan
sempurna”.
Firman tersebut
menunjukan bahwa ada keistimewaan dari Allah swt dalam menciptakan manusia,
sehingga dimuliakan kedudukannya dari pada makhluk ciptannya yang lain.
Kemuliaan itu terletak pada unsur spiritual di dalam kesatuan roh (jiwa)dengan
tubuh (jasmani), sehingga manusia mampu mengenali Tuhannya yang maha Esa atau
Allah swt. Dengan pengenalannya yang mendalam tentang kemahabesaran,
kemahabesaran dan kemahakuasaan timbul perasaan takut yang bukan mendorongnya
untuk menjauh, tetapi justru kecintaan yang menurutnya untuk mendekat, dengan
menyembahnya, untuk memperoleh rahman dan rahimnya.
E.
Kesimpulan
Metode kongkrit
dalam upaya pemahaman yang tepat terhadap hadis Nabi SAW yang ditawarkan oleh
Syah Wali Allah Al-Dahlawi adalah dengan menggunakan dua kategori, yaitu hadis Risalah
dan hadis Ghairu Risalah. Pengkategorian ini didasarkan kepada konsepsi
teoritis tindakan Nabi SAW, yaitu
tindakan sebagai rasul dan bukan rasul atau dalam kata lain hanya sebagai
manusia biasa. Hadis kategori pertama bersifat mengikat hadis ini muncul dari
diri Nabi sebagai pembawa Risalah dan harus ditaati, sebab bisa dikatakan bahwa
apa yang diterima Nabi pada kedudukan tersebut merupakan wahyu atau juga
ijtihad Nabi atas bimbingan wahyu.
DAFTAR
PUSTAKA
Masfufah,
Siti. "Klasifikasi Sunnah Menurut Pemikiran Syah Wali Allah Al-Dihlawi".
Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008.
Hawa,
Sa’id. Ar-Rasul Muhammad Saw. Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1993.
Munawwir
Herman, Imam. Asas-Asas Kepemimpinan Dalam Islam. Surabaya: Usaha
Nasional, 2000.
Nawawi,
Hadari. Kepemimpinan Menurut Islam. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar